Urutan Kepangkatan PNS

Tuesday, March 28, 2017

Hudud


HUDUD
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas antara dua hal.
الْحَدُّ فِى الْأَصْلِ: الشَّيْئُ الْحَاجِزُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ
Artinya : “Had makna asalnya adalah, sesuatu yang membatasi dua hal.”
Adapun secara bahasa, arti had adalah pencegahan. Berbagai hukuman perbuatan maksiat dinamakan had karena umumnya hukuman-hukuman tersebut dapat mencegah pelaku maksiat untuk kembali kepada kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media penjera pelaku maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.
Sedangkan menurut istilah syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan. Tujuan inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam istilah fiqh, berbagai tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud. Macam jaraimul hudud yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi fiqh adalah;
1. Zina
2. Qadhaf (menuduh wanita baik-baik berbuat zina)
3. Mencuri
4. Meminum minuman keras
5. Murtad
6. Bughat
7. Hirabah (mengambil harta orang lain dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan hukuman dalam bentuk qishash –walaupun sebagian ada yang jenisnya sama-. Karena had merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah hak hamba. Had tidak bisa gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash dapat gugur jika pihak yang dirugikan memaafkan.
I. ZINA
A. Pengertian Zina
Zina adalah memasukkan alat kelamin laki – laki ke dalam alat kelamin perempuan yang mendatangkan syahwat, dalam persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya, bukan karena syubhat. 
Maksud dari perempuan yang mendatangkan syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa (baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku tindak keji tersebut tidak terkena had. Walaupun demikian, hakim atau penguasa berhak menta’zirnya (menghukumnya dengan pertimbangan maslahat)  hingga ia jera dan menyadari bahwa perbuatan menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan haram yang harus dihindari.
Adapun maksud dari persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri (hubungan biologis ilegal di luar nikah).
Sedangkan maksud dari “bukan karena syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang syah untuknya, seperti istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
B. Status hukum zina
Sudah menjadi ijma’ para ulama’ bahwa zina hukumnya haram dan termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَاصلى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al – Isra’:32)
Keharaman zina juga dijelaskan dalam berbagai riwayat. Diantaranya hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut  :
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ : أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ , قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ أَنْ تَقْتٌلَ وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ, قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ : أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ .(رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Saya (Abdullah Ibnu Mas’ud) bertanya ; “Ya Rasulullah dosa apakah yang paling besar?” Nabi menjawab : “Engkau menyediakan sekutu bagi Allah Swt, padahal dia menciptakan kamu.” Saya bertanya lagi:”Kemudian (dosa) apalagi?” Nabi menjawab :”Engkau membunuh anakmu karena khawatir jatuh miskin” Saya bertanya lagi: “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab : “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
C. Dasar penetapan hukum Zina
Had zina dapat dilaksanakan jika tertuduh diyakini benar – benar telah melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan penetapan secara syara’. Rasulullah sangat hati – hati dalam melaksanakan had zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh benar – benar berbuat zina.
Berikut dasar-dasar yang dapat digunakan untuk menetapkan bahwa seseorang telah benar-benar berbuat zina  :
1. Adanya empat orang saksi laki – laki yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara melakukannya. Firman Allah Swt:
وَالَّتِى يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْصلى...
Artinya : “Dan (terhadap) wanita yang mengerjakan perbuatan keji (berzina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).”(QS.An – Nisa’:15)
2. Pengakuan pelaku zina, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص.م.فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فَرُجِمَ وَكَانَ قَدْ أُحْصِنَ .(رواه البخاري)
Artinya : “Dari jabir bin Abdullah al – Anshari ra. Bahwa seorang laki – laki dari Bani Aslam datang kepada Rasulullah dan menceritakan bahwa ia telah berzina. Pengakuan ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasul menyuruh supaya orang tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhur Ulama’ berpendapat sebaliknya. Kehamilan saja tanpa pengakuan atau kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar penetapan zina.
Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1.    Pelaku zina sudah baligh dan berakal
2.    Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan
3.    Pelaku zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4.    Telah diyakini secara syara’ bahwa pelaku tindak zina benar-benar melakukan perbuatan keji tersebut.
D. Macam-macam zina dan hadnya
Dalam kajian Fiqh, zina dibedakan menjadi dua, pertama: zina mukhshon, dan kedua: zina ghairu mukhshon.
1. Zina mukhshon yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan “seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had  (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina mukhshon adalah rajam.
Teknis hukuman rajam yaitu, pelaku zina mukhshon dilempari batu yang berukuran sedang hingga benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak boleh terlalu kecil sehingga memperlama proses kematian dan hukuman. Sebagaimana juga tidak dibolehkan merajam dengan batu besar hingga menyebabkan kematian seketika yang dengan itu tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2. Zina Ghairu mukhshon yaitu zina yang dilakukan oeh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli fiqh sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghoiru mukhshon baik laki-laki ataupun perempuan adalah cambukan sebanyak 100 kali.
Adapun hukuman pengasingan (taghrib / nafyun) para ahli fiqh berselisih pendapat  :
1.  Imam Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun.
2.  Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon hanya cambukan sebanyak 100 kali. Pengasingan menurut Abu Hanifah hanyalah hukuman tambahan yang kebijakan sepenuhnya dipasrahkan kepada hakim. Jika hakim memutuskan hukuman tambahan tersebut kepada pezina ghoiru mukhshon, maka pengasingan masuk dalam kategori ta’zir bukan had.
3.  Imam Malik dan imam Auza’i berpendapat bahwa had bagi pezina laki-laki merdeka ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun, adapun peziina perempuan merdeka ghoiru mukhshon hadnya hanya cambukan 100 kali. Ia tidak diasingkan karena wanita adalah aurat dan kemungkinan ia dilecehkan di luar wilayahnya sangat besar.
Dalil yang menegaskan bahwa pezina ghoiru mukhshon di kenai had berupa cambukan 100 kali dan pengasingan adalah  :
§  Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهٌمَامِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَارَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمٌؤْمِنِيْنَ
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina maka deralah pada tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu  untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang – orang yang beriman.” (QS. An – Nur : 2)
§  Sabda Rasulullah Saw          :
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَيني قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م. يَأْمُرُ فِيْمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبَ عَامٍ. (رواه البخاري)
Artinya : “ Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini, dia berkata : “Saya mendengar Nabi menyuruh agar orang yang berzina dan ia bukan muhshan, didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.”(HR. Bukhari)
E.  Hikmah diharamkannya zina
Zina merupakan sumber berbagai tindak kemaksiatan. Diantara hikmah terpenting diharamkannya zina adalah   :
1. Memelihara dan menjaga keturunan dengan baik. Karena anak hasil perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan terjaga.
2. Menjaga harga diri dan kehormatan manusia.
3. Menjaga ketertiban dan keteraturan rumah tangga.
4. Memunculkan rasa kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan syah.

II. QADZAF
A. Pengertian Qadzaf
Qadhaf secara bahasa mempunyai arti melempar dengan batu atau yang semisalnya (ar-ramyu bil hijarah wa ghairiha). Adapun menurut istilah syar’i qadhaf adalah melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik secara terang-terangan.
B. Hukum Qadzaf
Qadzaf merupakan salah satu dosa besar yang diharamkan syariat Islam. Diantara dalil-dalil yang menegaskan keharaman qadzaf adalah    :
v  Firman Allah ta’ala dalam an-Nur ayat 23-24 :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ .
Artinya : “Sesungguhnya orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman (berzina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar” (QS.An – Nur : 23 – 24)
v  Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.   :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ : اِجْتَنِبْ السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ قِيْلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda : “ Jauhilah olehmu tujuh (perkara) yang membinasakan”, Nabi ditanya : “Apa saja perkara itu, ya Rasulullah?” Rasul menjawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang sah menurut syara’, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh zina wanita baik – baik yang tak pernah ingat berbuat keji, lagi beriman.” (H.R. Bukhori Muslim)
C.  Had qadzaf
Had (hukuman) bagi pelaku qadzaf adalah cambukan sebanyak 80 kali bagi yang merdeka,  dan cambukan 40 kali bagi budak, karena hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka.
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nur ayat 4  :
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءِ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَاتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًاجوَأُولئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ.
Artinya : ”Dan orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka  (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan mereka itulah orang – orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
D. Syarat – syarat berlakunya had qadzaf
Had qadzaf wajib dijatuhkan terhadap penuduh zina jika memenuhi syarat – syarat berikut   :
1. Tertuduh berzina adalah mukhshon. Pengertian mukhshon dalam qadzaf berbeda dengan mukhshon dalam masalah zina. Dalam qadzaf, mukhshon adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun mukhshon dalam pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2.  Penuduh baligh dan berakal
3. Tuduhan berzina benar – benar sesuai aturan syara’, dimana saksi dalam kasus qadzaf adalah 2 orang laki-laki adil yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik berbuat zina.
E.  Gugurnya had qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik berzina bisa terlepas dari had qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah ini terjadi:
1. Penuduh dapat menghadirkan empat orang saksi laki – laki adil bahwa tertuduh benar – benar telah berzina.
2. Li’an (sumpah seorang suami atas nama Allah Swt. sebanyak 4 kali), jika suami menuduh istri berzina sedang dirinya tak mampu menghadirkan 4 saksi adil.
3. Tertuduh memaafkan.
F. Hikmah dilarangnya qadzaf
Efek negatif  yang dimunculkan qadzaf adalah tercemarnya nama baik tertuduh, serta jatuhnya harga diri dan kehormatannya di mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf dan menetapkan had bagi pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had qadzaf adalah:
1.   Menjaga kehormatan diri seseorang di mata masyarakat
2.   Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat zina
3.   Agar si penuduh merasa jera dan sadar dari perbuatannya yang tidak terpuji
4.   Menjaga keharmonisan pergaulan antar sesama anggota masyarakat
5.   Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang benar

III. MEMINUM MINUMAN  KERAS
A. Pengertian Minuman Keras (Khamr)
Dalam bahasa Arab minuman keras disebut khamr. Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal.
Berpijak dari definisi syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain sebagainya bisa disebut khamr.
Rasulullah Saw bersabda  :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap – tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap – tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
B. Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’ ulama’ bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi minuman keras merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah   :
Ø  Firman Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 90   :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al – Maidah : 90)
Ø  Sabda Rasulullah Saw   :
عَنْ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حَرَّمَهَا فِى الْأَخِرَةِ (رواه مسلم)
Artinya : ” Dari Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda : “Barang siapa meminum khamr di dunia dan ia tidak bertaubat maka (Allah) mengharamkannya di akhirat”(HR. Bukhari).
C. Had Minuman Keras
Sebagaimana ulama’ telah sepakat akan haramnya minuman keras, mereka juga sepakat bahwa orang yang meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah  :
·     Sabda Rasulullah Saw   :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ر.ض. أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِرَجُلٍ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ.(متفق عليه)
Artinya : ”Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum minuman keras, kemudian beliau menjilidnya dengan dua tangkai pelepah kurma kira – kira 40 kali.” (Muttafiq Alaih)

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan khilaf (perbedaan pendapat) mereka:
1. Jumhur ulama’ (mayoritas ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali.
Alasan mereka, bahwa para sahabat di zaman umar bin khatthab pernah bermusyawarah untuk menetapkan seringan-ringannya hukuman had. Kemudian mereka bersepakat bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah pukulan sebanyak 80 kali.
2. Imam syafi’i, Abu Daud dan ulama’ Dzahiriyyah berpendapat bahwa jumlah had minuman keras adalah 40 kali, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80 kali. Tambahan 40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim. Alat pukul yang digunakan untuk menghukum peminum khmar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat, tangan, atau alat pukul lainnya.
D. Hikmah diharamkannya minuman keras
Diantara hikmah terpenting diharamkannya minuman keras adalah   :
1. Masyarakat terhindar dari kejahatan seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras. Peminum minuman keras yang sudah sampai level “pecandu” tidak akan mampu menghindar dari tindak kejahatan/kemaksiatan. Karena minuman keras merupakan induk segala macam bentuk kejahatan. Maka, ketika minuman keras diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak kejahatan akan sirna, atau paling minimal menurun drastis.
2. Menjaga kesehatan jasmani dan rohani dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras seperti busung lapar, hilang ingatan, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3. Masyarakat terhindar dari siksa kebencian dan permusuhan yang diakibatkan oleh pengaruh minuman keras. Sebagaimana maklum adanya, minuman keras selain mengakibatkan berbagai macam penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu minuman keras akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu diselimuti kebencian dan permusuhan.
4. Menjaga hati agar tetap bersih, jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena minuman keras akan mengganggu kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu minuman keras hari demi hari akan semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras hingga ia tak sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.
IV. MENCURI
A. Pengertian Mencuri
Secara arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya secara sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân istaroqo as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau penglihatan).
Sedangkan menurut istilah syara’ mencuri adalah  :
هِيَ أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ الْغَيْرِ خَفْيَةً إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya : “Mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi,  jika harta tersebut mencapai satu nishab, terambil dari tempat simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai andil kepemilikan terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya diancam dengan hukuman had memiliki beberapa syarat berikut ini   :
1.   Pelaku pencurian adalah mukallaf
2.   Barang yang dicuri milik orang lain
3.   Pencurian dilakukan dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4.   Barang yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5.   Pencuri tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6.   Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab
Praktik pencurian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian, hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
B. Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat – syarat di atas, had mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik pencurian benar-benar diyakini –secara syara’- telah melakukan pencurian yang mengharuskannya dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut   :
1.   Kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2.   Pengakuan dari pelaku pencurian itu sendiri
3.   Sumpah dari penuduh.
Jika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian
C. Had Mencuri
Jika praktik pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا  كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al Maidah : 38)
Ayat di atas menjelaskan had pencurian secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian yang lebih detail dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه الشافعي)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri : “jika ia mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah salah satu kakinya, jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain), kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain).
Bersandar pada hadits tersebut sebagian ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut   :
1.   Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali
2.   Potong kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3.   Potong tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4.   Potong kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5.   Jika pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian ketiga dan seterusnya hukumannya adalah ta’zir.
B. Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.
·      Menurut madzhab hanafi nishab barang curian adalah 10 dirham
·      Menurut jumhur ulama nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak.
Dalil yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham perak adalah  :
Ø Hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab musnadnya, dimana Rasulullah Saw bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Ø Dan dalam riwayat imam Bukhori dengan lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
E. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’ sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan  pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba (hak pemilik barang yang dicuri).
Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut   :
رَوَي عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “ Maafkanlah had selama masih berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
F. Hikmah had bagi pencuri
Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut :
1. Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang merupakan hak adam yaitu had.
2. Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.
3. Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
4. Membuat jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rizki yang halal.

V. PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
A. Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun, perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain dengan menggunakan jalur kekerasan atau mengancamnya dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”. Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya
§  menyamun dan merampok di darat
§  sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirâbah atau qat’ut tharîq (penghadangan di jalan). 
B. Hukum penyamun, perampok, dan perompak
Seperti diketahui merampok, menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan harta ada unsur kekerasan.
 Dan jika perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama.
Maka wajar adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt berfirman  :
... وَلَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
 Artinya : “ … dan di akhirat mereka ( para penyamun) beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al –  Maidah : 33)
C. Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok, penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 33  :
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
 Artinya : “ Sesungguhnya pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al – Maidah :33)
Dari ayat di atas para ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat kediamannya.
Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat tauzî’î. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak :
1. Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2. Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
4. Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.

Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh keluarga korban
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa had perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
D. Perampok, penyamun, dan perompak yang taubat
Taubatnya perampok, penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun ketentuan hukum yang ada padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt :
إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali orang – orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al – Maidah : 34)
Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
E. Hikmah pengharaman merampok, menyamun dan merompak
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharaman mencuri.

VI. BUGHAT (PEMBANGKANG)
A. Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ adalah jamak dari isim fail بَاغٍ. Akar katanya بَغَى - يَبْغِي yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang                                                          atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah, membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan kepada mereka. 
Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka  :        
1. Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.
2, Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki pengikut yang setia kepada mereka.
4. Memiliki imam yang ditaati.
B. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka lakukan, hingga akhirnya mau kembali taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika cara tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan cara yang lebih tegas. Dan jika cara tersebut masih juga belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai ketentuan fiqh Islam  :
1. Mengirim utusan kepada mereka agar diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka lakukan. Apabila  sebab – sebab itu karena ketidaktahuan mereka atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan hingga ketidak tahuan atau keraguan itu hilang.
2. Apabila tindakan pertama tidak berhasil, maka tindakan selanjutnya adalah menasehati dan mengajak mereka agar mau mentaati imam yang sah.
3. Jika usaha kedua tidak berhasil maka usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman bahwa mereka  akan diperangi. Jika setelah munculnya ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan kembali pendapat mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka mereka diberi kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta penguluran waktu hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
C. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat  al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan jika dua golongan dari orang – orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”(Q.S. al-Hujurat: 4)
Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja hingga sadar.
Adapun harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjdi perang Jamal, Ali menyuruh agar diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan.”

Sumber  : Buku Fiqih Kelas XI Kurikulum 2013

No comments: