HUDUD
Hudud
adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas antara dua hal.
الْحَدُّ فِى الْأَصْلِ:
الشَّيْئُ الْحَاجِزُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ
Artinya : “Had makna asalnya adalah,
sesuatu yang membatasi dua hal.”
Adapun secara bahasa, arti had adalah
pencegahan. Berbagai hukuman perbuatan maksiat dinamakan had karena umumnya
hukuman-hukuman tersebut dapat mencegah pelaku maksiat untuk kembali kepada
kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Hukuman had merupakan media penjera pelaku
maksiat hingga ia tak mau mengulangi kemaksiatannya.
Sedangkan menurut istilah syar’i, hudud
adalah hukuman-hukuman tertentu yang telah ditetapkan Allah sebagai sanksi
hukum terhadap pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan dan penganiayaan. Tujuan
inti dari hudud yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam istilah fiqh, berbagai tindak
kejahatan yang diancam dengan hukuman had diistilahkan dengan jaraimul hudud.
Macam jaraimul hudud yang senantiasa dikupas dalam berbagai referensi
fiqh adalah;
1. Zina
2. Qadhaf (menuduh wanita baik-baik
berbuat zina)
3. Mencuri
4. Meminum minuman keras
5. Murtad
6. Bughat
7. Hirabah (mengambil harta orang lain
dengan kekerasan / ancaman senjata, dan terkadang diikuti dengan aksi pembunuhan).
Hukuman dalam bentuk had berbeda dengan
hukuman dalam bentuk qishash –walaupun sebagian ada yang jenisnya sama-. Karena
had merupakan hak Allah Swt sedangkan qishash adalah hak hamba. Had tidak bisa
gugur karena dimaafkan oleh pihak yang dirugikan. Sedangkan qishash dapat gugur
jika pihak yang dirugikan memaafkan.
I.
ZINA
A. Pengertian
Zina
Zina adalah
memasukkan alat kelamin laki – laki ke dalam alat kelamin perempuan yang
mendatangkan syahwat, dalam persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya,
bukan karena syubhat.
Maksud dari perempuan yang mendatangkan
syahwat adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan baik yang dewasa
(baligh) ataupun yang masih kecil. Dari pengertian ini bisa disimpulkan bahwa
persetubuhan dengan hewan ataupun mayat tidak bisa dikategorikan zina. Pelaku
tindak keji tersebut tidak terkena had. Walaupun demikian, hakim atau penguasa
berhak menta’zirnya (menghukumnya dengan pertimbangan maslahat) hingga ia jera dan menyadari bahwa perbuatan
menyetubuhi hewan ataupun mayat adalah tindakan haram yang harus dihindari.
Adapun maksud dari persetubuhan yang
haram menurut zat perbuatannya adalah hubungan biologis antara laki-laki dan
perempuan yang bukan suami istri (hubungan biologis ilegal di luar nikah).
Sedangkan maksud dari “bukan karena
syubhat” adalah perzinaan yang terjadi bukan karena seorang laki-laki mengira
bahwa wanita yang ia setubuhi adalah pasangan yang syah untuknya, seperti
istrinya. Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang wanita yang ia kira adalah
istrinya, maka had tidak dikenakan untuknya.
B.
Status hukum zina
Sudah menjadi ijma’ para ulama’ bahwa
zina hukumnya haram dan termasuk salah satu bentuk dosa besar. Allah Swt
berfirman :
وَلَا
تَقْرَبُوْا الزِّنَاصلى إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al – Isra’:32)
Keharaman
zina juga dijelaskan dalam berbagai riwayat. Diantaranya hadits yang
diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ : أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ ,
قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ أَنْ تَقْتٌلَ وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ,
قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ : أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ .(رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Saya (Abdullah Ibnu
Mas’ud) bertanya ; “Ya Rasulullah dosa apakah yang paling besar?” Nabi menjawab
: “Engkau menyediakan sekutu bagi Allah Swt, padahal dia menciptakan kamu.”
Saya bertanya lagi:”Kemudian (dosa) apalagi?” Nabi menjawab :”Engkau membunuh
anakmu karena khawatir jatuh miskin” Saya bertanya lagi: “Kemudian apalagi?”
Beliau menjawab : “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” (HR.Bukhari dan
Muslim)
C.
Dasar penetapan hukum Zina
Had zina dapat dilaksanakan jika
tertuduh diyakini benar – benar telah melakukan perzinaan. Untuk itu diperlukan
penetapan secara syara’. Rasulullah sangat hati – hati dalam melaksanakan had
zina ini. Beliau tidak akan melaksanakan had zina sebelum yakin bahwa tertuduh
benar – benar berbuat zina.
Berikut dasar-dasar yang dapat digunakan
untuk menetapkan bahwa seseorang telah benar-benar berbuat zina :
1. Adanya empat orang saksi laki – laki
yang adil. Kesaksian mereka harus sama dalam hal tempat, waktu, pelaku dan cara
melakukannya. Firman Allah Swt:
وَالَّتِى يَأْتِيْنَ
الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْصلى...
Artinya : “Dan (terhadap) wanita yang
mengerjakan perbuatan keji (berzina) hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya).”(QS.An – Nisa’:15)
2. Pengakuan pelaku zina, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a. berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِاللهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ
ص.م.فَحَدَّثَهُ أَنَّهُ قَدْ زَنَى فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ
فَأَمَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فَرُجِمَ وَكَانَ قَدْ أُحْصِنَ .(رواه
البخاري)
Artinya : “Dari jabir bin Abdullah al – Anshari ra. Bahwa
seorang laki – laki dari Bani Aslam datang kepada Rasulullah dan menceritakan
bahwa ia telah berzina. Pengakuan ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasul
menyuruh supaya orang tersebut dirajam dan orang tersebut adalah muhshan.” (HR.
Muslim)
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat
bahwa kehamilan perempuan tanpa suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan
zina. Akan tetapi Jumhur Ulama’ berpendapat sebaliknya. Kehamilan saja tanpa
pengakuan atau kesaksian empat orang yang adil tidak dapat dijadikan dasar
penetapan zina.
Had zina dapat dijatuhkan terhadap
pelakunya, jika telah terpenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1. Pelaku
zina sudah baligh dan berakal
2. Perbuatan
zina dilakukan tanpa paksaan
3. Pelaku
zina mengetahui bahwa konsekuensi dari perbuatan zina adalah had
4. Telah diyakini secara syara’ bahwa pelaku
tindak zina benar-benar melakukan perbuatan keji tersebut.
D. Macam-macam zina dan hadnya
Dalam kajian Fiqh, zina dibedakan
menjadi dua, pertama: zina mukhshon, dan kedua: zina ghairu
mukhshon.
1. Zina mukhshon
yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah. Ungkapan
“seorang yang sudah menikah” mencakup suami, istri, janda, atau duda. Had (hukuman) yang diberlakukan kepada pezina
mukhshon adalah rajam.
Teknis hukuman rajam
yaitu, pelaku zina mukhshon dilempari batu yang berukuran sedang hingga
benar-benar mati. Batu yang digunakan tidak boleh terlalu kecil sehingga
memperlama proses kematian dan hukuman. Sebagaimana juga tidak dibolehkan
merajam dengan batu besar hingga menyebabkan kematian seketika yang dengan itu
tujuan “memberikan pelajaran” kepada pezina mukhshon tidak tercapai.
2. Zina Ghairu mukhshon
yaitu zina yang dilakukan oeh seseorang yang belum pernah menikah. Para ahli
fiqh sepakat bahwa had (hukuman) bagi pezina ghoiru mukhshon baik laki-laki
ataupun perempuan adalah cambukan sebanyak 100 kali.
Adapun
hukuman pengasingan (taghrib / nafyun) para ahli fiqh berselisih
pendapat :
1. Imam Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat
bahwa had bagi pezina ghoiru mukhshon adalah cambukan sebanyak 100 kali dan
pengasingan selama 1 tahun.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa had
bagi pezina ghoiru mukhshon hanya cambukan sebanyak 100 kali. Pengasingan
menurut Abu Hanifah hanyalah hukuman tambahan yang kebijakan sepenuhnya
dipasrahkan kepada hakim. Jika hakim memutuskan hukuman tambahan tersebut
kepada pezina ghoiru mukhshon, maka pengasingan masuk dalam kategori ta’zir
bukan had.
3. Imam Malik dan imam Auza’i berpendapat
bahwa had bagi pezina laki-laki merdeka ghoiru mukhshon adalah cambukan
sebanyak 100 kali dan pengasingan selama 1 tahun, adapun peziina perempuan
merdeka ghoiru mukhshon hadnya hanya cambukan 100 kali. Ia tidak diasingkan
karena wanita adalah aurat dan kemungkinan ia dilecehkan di luar wilayahnya
sangat besar.
Dalil yang menegaskan bahwa pezina
ghoiru mukhshon di kenai had berupa cambukan 100 kali dan pengasingan adalah :
§ Firman
Allah ta’ala dalam surat an-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى
فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهٌمَامِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ
بِهِمَارَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الْأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمٌؤْمِنِيْنَ
Artinya : “Perempuan
yang berzina dan laki – laki yang berzina maka deralah pada tiap-tiap dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang – orang yang beriman.” (QS.
An – Nur : 2)
§ Sabda
Rasulullah Saw :
عَنْ زَيْدِ بْنِ
خَالِدٍ الْجُهَيني قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م. يَأْمُرُ فِيْمَنْ زَنَى
وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبَ عَامٍ. (رواه البخاري)
Artinya : “ Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini, dia berkata : “Saya
mendengar Nabi menyuruh agar orang yang berzina dan ia bukan muhshan, didera
100 kali dan diasingkan selama satu tahun.”(HR. Bukhari)
E.
Hikmah
diharamkannya zina
Zina merupakan sumber
berbagai tindak kemaksiatan. Diantara hikmah terpenting diharamkannya zina
adalah :
1. Memelihara dan menjaga keturunan
dengan baik. Karena anak hasil perzinaan pada umumnya kurang terpelihara dan
terjaga.
2. Menjaga harga diri dan kehormatan
manusia.
3. Menjaga ketertiban dan keteraturan
rumah tangga.
4. Memunculkan rasa kasih sayang
terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan syah.
II.
QADZAF
A.
Pengertian Qadzaf
Qadhaf
secara bahasa mempunyai arti melempar dengan batu atau yang semisalnya (ar-ramyu
bil hijarah wa ghairiha). Adapun menurut istilah syar’i qadhaf adalah
melempar tuduhan zina kepada seorang yang dikenal baik secara terang-terangan.
B.
Hukum Qadzaf
Qadzaf merupakan salah
satu dosa besar yang diharamkan syariat Islam. Diantara dalil-dalil yang
menegaskan keharaman qadzaf adalah :
v
Firman Allah ta’ala
dalam an-Nur ayat 23-24 :
إِنَّ الَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا
وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ .
Artinya : “Sesungguhnya orang – orang
yang menuduh wanita yang baik – baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman
(berzina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang
besar” (QS.An – Nur : 23 – 24)
v Sabda
Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. :
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ : اِجْتَنِبْ
السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ قِيْلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :
الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra. Nabi
bersabda : “ Jauhilah olehmu tujuh (perkara) yang membinasakan”, Nabi ditanya :
“Apa saja perkara itu, ya Rasulullah?” Rasul menjawab : “ Menyekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang sah
menurut syara’, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan
perang, dan menuduh zina wanita baik – baik yang tak pernah ingat berbuat keji,
lagi beriman.” (H.R. Bukhori Muslim)
C.
Had
qadzaf
Had (hukuman) bagi
pelaku qadzaf adalah cambukan sebanyak 80 kali bagi yang merdeka, dan cambukan 40 kali bagi budak, karena
hukuman budak setengah hukuman orang yang merdeka.
Allah
Swt berfirman dalam surat an-Nur ayat 4 :
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءِ فَاجْلِدُوْهُمْ
ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَاتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًاجوَأُولئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُوْنَ.
Artinya : ”Dan
orang – orang yang menuduh wanita yang baik – baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya. Dan
mereka itulah orang – orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)
D.
Syarat – syarat berlakunya had qadzaf
Had qadzaf wajib
dijatuhkan terhadap penuduh zina jika memenuhi syarat – syarat berikut :
1. Tertuduh berzina adalah mukhshon.
Pengertian mukhshon dalam qadzaf berbeda dengan mukhshon dalam masalah zina.
Dalam qadzaf, mukhshon adalah orang baik yang benar-benar tidak berzina. Adapun
mukhshon dalam pembahasan zina adalah seorang yang sudah pernah menikah.
2. Penuduh baligh dan
berakal
3. Tuduhan berzina benar – benar sesuai
aturan syara’, dimana saksi dalam kasus qadzaf adalah 2 orang laki-laki adil
yang menyatakan bahwa penuduh telah menuduh orang baik-baik berbuat zina atau
pengakuan dari penuduh sendiri bahwa dirinya telah menuduh orang baik-baik
berbuat zina.
E.
Gugurnya
had qadzaf
Seorang yang menuduh orang baik-baik
berzina bisa terlepas dari had qadzaf jika salah satu dari tiga hal di bawah
ini terjadi:
1. Penuduh dapat menghadirkan empat
orang saksi laki – laki adil bahwa tertuduh benar – benar telah berzina.
2. Li’an (sumpah seorang suami atas nama
Allah Swt.
sebanyak 4 kali), jika suami menuduh istri berzina sedang dirinya tak mampu
menghadirkan 4 saksi adil.
3. Tertuduh memaafkan.
F.
Hikmah dilarangnya qadzaf
Efek
negatif yang dimunculkan qadzaf adalah
tercemarnya nama baik tertuduh, serta jatuhnya harga diri dan kehormatannya di
mata masyarakat. Karenanya, Islam mengharamkan qadzaf dan menetapkan had bagi
pelakunya. Diantara hikmah terpenting penetapan had qadzaf adalah:
1. Menjaga kehormatan diri seseorang di mata
masyarakat
2. Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan
kebohongan dengan cara menuduh orang lain berbuat zina
3. Agar si penuduh merasa jera dan sadar dari
perbuatannya yang tidak terpuji
4. Menjaga keharmonisan pergaulan antar sesama
anggota masyarakat
5. Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat
berdasarkan hukum yang benar
III.
MEMINUM MINUMAN KERAS
A.
Pengertian Minuman Keras (Khamr)
Dalam bahasa Arab
minuman keras disebut khamr. Secara definisi bahasa khamr mempunyai arti
penutup akal. Sedangkan menurut istilah syar’i khamr adalah segala jenis
minuman atau selainnya yang memabukkan dan menghilangkan fungsi akal.
Berpijak dari definisi
syar’i ini, cakupan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi
segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan
membuat manusia tidak sadar, semisal ganja, heroin, obat bius dan lain
sebagainya bisa disebut khamr.
Rasulullah Saw bersabda :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ
خَمْرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap – tiap yang
memabukkan disebut khamr, dan tiap – tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim)
B.
Hukum Minuman Keras
Sudah menjadi ijma’
ulama’ bahwa hukum minuman keras (khamr) haram. Mengkonsumsi minuman keras
merupakan dosa besar. Diantara dalil yang menegaskan keharaman minuman keras adalah :
Ø Firman
Allah ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 90
:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ
أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya : “Hai orang – orang yang
beriman, sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaithan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”(QS. Al – Maidah : 90)
Ø Sabda
Rasulullah Saw :
عَنْ عَبْدِالله بْنِ
عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ : مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا
ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حَرَّمَهَا فِى الْأَخِرَةِ (رواه مسلم)
Artinya : ” Dari
Abdullah bin Umar, Rasullah bersabda : “Barang siapa meminum khamr di dunia dan
ia tidak bertaubat maka (Allah) mengharamkannya di akhirat”(HR. Bukhari).
C. Had Minuman Keras
Sebagaimana ulama’
telah sepakat akan haramnya minuman keras, mereka juga sepakat bahwa orang yang
meminumnya wajib dikenai hukuman (had), baik ia mengkonsumsi sedikit atau
banyak. Landasan syar’i terkait hal ini adalah :
· Sabda Rasulullah Saw :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ر.ض.
أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِرَجُلٍ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ
نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ.(متفق عليه)
Artinya : ”Dari Anas bin Malik ra,
dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum minuman keras, kemudian
beliau menjilidnya dengan dua tangkai pelepah kurma kira – kira 40
kali.” (Muttafiq Alaih)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai jumlah pukulan bagi peminum khamr. Berikut ringkasan khilaf
(perbedaan pendapat) mereka:
1. Jumhur ulama’ (mayoritas
ulama) diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal
berpendapat bahwa jumlah pukulan dalam had minuman keras 80 kali.
Alasan
mereka, bahwa para sahabat di zaman umar bin khatthab pernah bermusyawarah
untuk menetapkan seringan-ringannya hukuman had. Kemudian mereka bersepakat
bahwa jumlah minimal had adalah pukulan sebanyak 80 kali. Dari kesepakatan
inilah, selanjutnya Umar menetapkan bahwa had bagi peminum khamr adalah pukulan
sebanyak 80 kali.
2. Imam
syafi’i, Abu Daud dan ulama’ Dzahiriyyah berpendapat bahwa jumlah had
minuman keras adalah 40 kali, tetapi imam/hakim boleh menambahkannya sampai 80
kali. Tambahan
40 kali merupakan ta’zir yang merupakan hak imam/hakim. Alat pukul yang digunakan untuk
menghukum peminum khmar bisa berupa sepotong kayu, sandal, sepatu, tongkat,
tangan, atau alat pukul lainnya.
D.
Hikmah diharamkannya minuman keras
Diantara
hikmah terpenting diharamkannya minuman keras adalah :
1. Masyarakat terhindar dari kejahatan
seseorang yang diakibatkan pengaruh minuman keras. Peminum minuman keras yang
sudah sampai level “pecandu” tidak akan mampu menghindar dari tindak
kejahatan/kemaksiatan. Karena minuman keras merupakan induk segala macam bentuk
kejahatan. Maka, ketika minuman keras diharamkan dan kebiasaan meminumnya bisa
dihilangkan, secara otomatis berbagai tindak kejahatan akan sirna, atau paling
minimal menurun drastis.
2. Menjaga kesehatan jasmani dan rohani
dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras seperti
busung lapar, hilang ingatan, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya.
3. Masyarakat terhindar dari siksa
kebencian dan permusuhan yang diakibatkan oleh pengaruh minuman keras.
Sebagaimana maklum adanya, minuman keras selain mengakibatkan berbagai macam
penyakit juga menjadikan mental pecandunya tidak stabil. Pecandu minuman keras
akan mudah tersinggung dan salah paham hingga dirinya akan selalu diselimuti
kebencian dan permusuhan.
4. Menjaga hati agar tetap bersih,
jernih, dan dekat kepada Allah ta’ala. Karena minuman keras akan mengganggu
kestabilan jasmani dan rohani. Hati pecandu minuman keras hari demi hari akan
semakin jauh dari Allah. Hatinya menjadi gelap, keras hingga ia tak
sungkan-sungkan melakukan pelanggar terhadap aturan syar’i.
IV.
MENCURI
A.
Pengertian Mencuri
Secara
arti bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya secara
sembunyi-sembunyi. Dari arti bahasa ini muncul ungkapan “fulân istaroqo
as-sam’a wa an-nadhoro” (Fulan mencuri pendengaran atau penglihatan).
Sedangkan
menurut istilah syara’ mencuri adalah :
هِيَ
أَخْذُ الْمُكَلَّفِ – أَيْ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ الْغَيْرِ خَفْيَةً
إِذَا بَالَغَ نِصَابًا مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شُبْهَةٌ فِى
هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
Artinya : “Mukallaf yang mengambil
harta orang lain secara sembunyi-sembunyi,
jika harta tersebut mencapai satu nishab, terambil dari tempat
simpanannya, dan orang yang mengambil tidak mempunyai andil kepemilikan
terhadap harta tersebut.”
Berpijak dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya
diancam dengan hukuman had memiliki beberapa syarat berikut ini :
1. Pelaku
pencurian adalah mukallaf
2. Barang
yang dicuri milik orang lain
3. Pencurian
dilakukan dengan cara diam – diam atau sembunyi – sembunyi
4. Barang
yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan
5. Pencuri
tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri
memiliki andil kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka
orang tua tersebut tidak dikenai hukuman had, walaupun ia mengambil barang
anaknya yang melebihi nishab pencurian.
6. Barang
yang dicuri mencapai jumlah satu nisab
Praktik pencurian yang
tidak memenuhi syarat-syarat di atas pelakunya tidak dikenai had. Pun demikian,
hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya.
B.
Pembuktian praktik pencurian
Disamping syarat –
syarat di atas, had mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik
pencurian benar-benar diyakini –secara syara’- telah melakukan pencurian yang
mengharuskannya dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu
dari tiga kemungkinan berikut :
1. Kesaksian
dari dua orang saksi yang adil dan merdeka
2. Pengakuan
dari pelaku pencurian itu sendiri
3. Sumpah
dari penuduh.
Jika terdakwa pelaku pencurian menolak
tuduhan tanpa disertai sumpah, maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam
situasi semisal ini, jika penuduh berani bersumpah, maka tuduhannya diterima
dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian
C.
Had Mencuri
Jika praktik pencurian
telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka pelakunya
wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt berfirman dalam
surat al-Maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki – laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana (QS.Al Maidah : 38)
Ayat di atas
menjelaskan had pencurian secara umum. Adapun tekhnis pelaksanaan had pencurian
yang lebih detail dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَالَ فِى السَّارِقِ
إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ إِنْ
سَرِقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرِقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ (رواه
الشافعي)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya
Rasulullah bersabda mengenai pencuri : “jika ia mencuri (kali pertama)
potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah salah
satu kakinya, jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain),
kemudian jika ia mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain).
Bersandar pada hadits
tersebut sebagian ulama diantaranya imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat
bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut :
1. Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan
pertama kali
2. Potong
kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua
3. Potong
tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga
4. Potong
kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat
5. Jika
pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah
ta’zir dan ia dipenjarakan hingga bertaubat.
Sebagian ulama’ lain diantaranya Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman potong tangan dan kaki
hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan untuk pencurian
pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian
ketiga dan seterusnya hukumannya adalah ta’zir.
B.
Nisab (kadar) barang yang dicuri.
Para
ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.
· Menurut
madzhab hanafi nishab barang curian adalah 10
dirham
· Menurut
jumhur ulama nishab barang curian adalah ¼ dinar
emas, atau tiga dirham perak.
Dalil
yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas
atau tiga dirham perak adalah :
Ø Hadits
yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam kitab
musnadnya, dimana Rasulullah Saw bersabda:
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِى رُبْعِ
دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya: “Tidak dipotong tangan seorang pencuri
kecuali jika ia mencuri sebanyak ¼ dinar atau lebih”
Ø
Dan
dalam riwayat imam Bukhori dengan lafadz:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau
lebih.”
Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu
berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12 dirham. Jika
dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi
diperkirakan nishab barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).
E. Pencuri yang dimaafkan
Ulama’ sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya, sehingga pencuri bebas dari had
sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba
(hak pemilik barang yang dicuri).
Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri pindah dari
hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat
gugur walaupun pemilik barang yang dicuri memaafkan pencuri.
Teks syar’i yang menjelaskan tentang masalah tersebut adalah, hadits
riwayat Abu Dawud dan Nasa’i berikut :
رَوَي
عَمْرُوْ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م.
قَالَ: تَعَافُوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِيْ مِنْ حَدٍّ
فَقَدْ وَجَبَ (رواه أبوا داود والنّسائي)
Artinya :” Diriwayatkan dari Amr bin
Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “
Maafkanlah had selama masih berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai
kepadaku, maka wajib dilaksanakan.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
F.
Hikmah had bagi pencuri
Adapun
hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut :
1. Seseorang tidak akan dengan mudah
mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan memunculkan efek ganda. Ia
akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi yang
merupakan hak adam yaitu had.
2. Seseorang akan memahami betapa hukum
Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang. Karunia Allah terkait harta
manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut
telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan
jaminan perlindungan.
3. Menghindarkan manusia dari sikap
malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki sesuatu secara tidak
syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat malas.
Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
4. Membuat jera pencuri hingga dirinya
terdorong untuk mencari rizki yang halal.
V.
PENYAMUN, PERAMPOK, DAN PEROMPAK
A.
Pengertian penyamun, perampok, dan perompak
Penyamun,
perampok, dan perompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian
“mengambil harta orang lain dengan menggunakan jalur kekerasan atau
mengancamnya dengan senjata dan terkadang disertai dengan pembunuhan”.
Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya
§ menyamun
dan merampok di darat
§ sedangkan
merompak di laut
Dalam
kajian fiqh, praktik menyamun, merampok, atau merompak masuk dalam pembahasan hirâbah
atau qat’ut tharîq (penghadangan di jalan).
B. Hukum penyamun, perampok, dan
perompak
Seperti
diketahui merampok, menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat
mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya
bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri. Karena dalam praktik perampasan
harta ada unsur kekerasan.
Dan jika perampas harta
sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia
telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama.
Maka wajar
adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia
dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa adzab dahsyat. Allah Swt
berfirman :
... وَلَهُمْ
فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ … dan di
akhirat mereka ( para penyamun) beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al – Maidah
: 33)
C.
Had perampok, penyamun, dan perompak
Had perampok,
penyamun, dan perompak secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah
ayat 33 :
إِنَّمَا جَزَاءُ
الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقْتَلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَ
لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia
dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” ( QS. Al – Maidah :33)
Dari ayat di atas para
ulama sepakat bahwa had perampok, penyamun, dan perompak berupa : potong tangan
dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat
kediamannya.
Kemudian para ulama
berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia
bersifat tauzî’î dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang
dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyîrî sehingga seorang
hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhur ulama’
sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat al-Maidah ayat 33 bersifat tauzî’î.
Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan
seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang
ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak :
1. Jika seseorang merampas harta orang
lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
2. Jika seseorang tidak sempat merampas
harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati.
3. Jika seseorang merampas harta orang
lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki
secara menyilang.
4. Jika seseorang tidak merampas harta
orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin
menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih
dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan
atau diasingkan ke luar wilayahnya.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati
terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan
had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh keluarga
korban
Sebagian ulama salaf
berpendapat bahwa had perampok, penyamun, perompak yang dijelaskan dalam surat
al-Maidah ayat 33 bersifat takhyiri hingga hakim boleh memilih salah
satu jenis hukuman yang disebutkan dalam ayat tersebut.
D. Perampok, penyamun,
dan perompak yang taubat
Taubatnya perampok,
penyamun, dan perompak setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun
ketentuan hukum yang ada padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum
tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran
sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt :
إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya :” Kecuali orang – orang yang
taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka
ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al –
Maidah : 34)
Diisyaratkan dalam ayat
tersebut bahwa Allah Swt akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak)
yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang
merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum
tertangkap.
E. Hikmah pengharaman merampok,
menyamun dan merompak
Prinsipnya, hikmah
pengharaman merampok, menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharaman
mencuri.
VI.
BUGHAT (PEMBANGKANG)
A.
Pengertian bughat
Kata بُغَاةٌ adalah jamak dari isim fail بَاغٍ. Akar katanya بَغَى - يَبْغِي yang berarti : mencari, dan dapat pula berarti maksiat, melampaui batas,
berpaling dari kebenaran, dan dzalim.
Adapun
bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang
atau memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara syah. Tindakan yang
dilakukan bughat bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang syah,
membangkang perintah pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang dibebankan
kepada mereka.
Seorang
baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa
kriteria ini melekat pada diri mereka :
1. Memiliki
kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa
disimpulkan bahwa penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak
bisa dikategorikan sebagai bughat.
2, Memiliki
takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam atau
tindakan mereka menolak kewajiban.
3. Memiliki
pengikut yang setia kepada mereka.
4. Memiliki imam
yang ditaati.
B. Tindakan hukum terhadap bughat
Para bughat
harus diusahakan sedemikian rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka lakukan,
hingga akhirnya mau kembali taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka
sebagai warga negara.
Proses
penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika cara
tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan cara yang lebih tegas. Dan jika
cara tersebut masih juga belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas.
Berikut urutan tindakan hukum terhadap bughat sesuai
ketentuan fiqh Islam :
1. Mengirim
utusan kepada mereka agar diketahui sebab–sebab pemberontakan yang mereka
lakukan. Apabila sebab – sebab itu
karena ketidaktahuan mereka atau keraguan mereka, maka mereka harus diyakinkan
hingga ketidak tahuan atau keraguan itu hilang.
2. Apabila
tindakan pertama tidak berhasil, maka tindakan selanjutnya adalah menasehati
dan mengajak mereka agar mau mentaati imam yang sah.
3. Jika usaha
kedua tidak berhasil maka usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau
ancaman bahwa mereka akan diperangi.
Jika setelah munculnya ultimatum itu mereka meminta waktu, maka harus diteliti
terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk
memikirkan kembali pendapat mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada
indikasi jelas bahwa mereka meminta penguluran waktu untuk merenungkan
pendapat-pendapat mereka, maka mereka diberi kesempatan, akan tetapi
sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta penguluran waktu hanya
untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
4. Jika mereka
tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka
sadar dan taat kembali.
C. Status Hukum Pembangkang
Kalangan bughat
tidak dihukumi kafir. Allah sampaikan hal ini dalam firman-nya pada surat al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا...
Artinya : “ Dan jika dua golongan
dari orang – orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”(Q.S.
al-Hujurat: 4)
Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima
dan ia tidak boleh dibunuh. Oleh sebab itu, para bughat yang tertawan tidak
boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup ditahan saja
hingga sadar.
Adapun harta mereka yang terampas tidak
boleh disamakan dengan ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut
kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika didapati kalangan bughat yang terluka
saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait hal ini Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjdi perang Jamal, Ali menyuruh agar
diserukan: “Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan
segera dimatikan, yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang
meletakkan senjatanya harus diamankan.”
Sumber : Buku Fiqih
Kelas XI Kurikulum 2013
No comments:
Post a Comment