Urutan Kepangkatan PNS

Tuesday, March 28, 2017

PERNIKAHAN DALAM ISLAM



1. PENGERTIAN DAN HUKUM NIKAH
a.    Pengertian Nikah
Kata Nikah(نِكَاحٌ)   atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (زَوَاجٌ). Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan.
b. Hukum Pernikahan
Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at Islam, demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النّسَاءِ مَثْنَى  وَ ثُلَاثَ وَ رُبَاعُ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
 Artinya :“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa: 3)

Rasulullah bersabda :
عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُ : اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمِدَ اللهُ وَاَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : لَكِنِّى اَنَا اُصَلِّى وَاَنَامُ وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya :“Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya  Nabi SAW memunji Allah dan menyanjungnya, beliau bersabda : “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku (Bukhari Muslim)

Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :
1. Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
2. Sunnah.
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).
Sabda Rasulullah :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ  فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya : “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah,. Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR. Bukhari dan muslim)
3. Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.
4. Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya.
Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Dan kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.
5. Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.

2. PERSIAPAN PELAKSANAAN PERNIKAHAN
a. Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat. Terkait dengan permasalahan khitbah Allah Swt berfirman :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِى أَنْفُسِكُمْ
Artinya :  Dan tak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu(QS. Al Baqarah : 235).
v Cara mengajukan pinangan
Ø Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara terang-terangan
Ø Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.

v Perempuan yang boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
ü Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
ü Perempuan yang tidak dalam masa ’iddah.
ü Perempuan yang belum dipinang orang lain.

Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَحْطُبُ اَحَدَكُمْ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ يَأْذَنَ لَهُ          
Artinya : “Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya, kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin kepadanya (HR.Bukhari dan Muslim)
Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.

b. Melihat calon isteri atau suami
Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya terwujud keluarga yang bahagia.
Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang yaitu :
a.         Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
b.         Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c.         Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan.

Mughirah bin Syu’ban telah meminang seorang perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, Apakah engkau telah melihatnya? Mughirah berkata “Belum” Rasulullah bersabda :
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرَى أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا                                                              
Artinya : “Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Thurmudzi)

3.  MAHRAM ATAU PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI

Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu
a.      Sebab haram dinikah untuk selamanya
Dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1)     Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab. Mereka adalah :
a)        Ibu
b)       Nenek secara mutlak dan semua jalur ke atasnya
c)        Anak perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah
d)       Anak perempuan dari anak laki-laki dan perempuannya beserta semua jalur ke bawah
e)        Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuan dan anak perempuannya anak laki-laki dan saudara perempuan tersebut beserta jalur ke bawah.
f)         Ammah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak beserta jalur ke atasnya
g)        Khalah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak beserta jalur ke atasnya
h)       Anak perempuannya saudara laki-laki secara mutlak
i)         Anak perempuannya anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke bawahnya.
Artinya : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak  perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, (bibi jalur ayah), saudara-saudara perempuan ibu kalian (bibi daru jalur ibu) anak-anak perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara perempuan kalian “ ......  (Q.S. An Nisa: 23)

2)     Wanita-wanita yang haram dinikahi karena pertalian nikah, mereka adalah :
a)      Isteri ayah dan Istri kakek  beserta jalur ke atasnya, karena Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa 22)
b)       Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri
c)        Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang telah menggauli ibunya, anak perempuannya istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri), anak perempuannya anak laki-laki istri ( cucu perempuan dari anak laki-laki tiri), karena Allah SWT berfirman :

Artinya : (diharamkan  atas kalian menikahi) ibu-ibu isteri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian  yang ada dalam pemeliharan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu ( dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kalian mengawininya” (QS.An Nisa: 23).

3)     Wanita-wanita yang haram dinikahi karena susuan.
a)      Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab
b)     Anak-anak perempuan
c)      Saudara-saudara perempuan
d)     Para ammah (para bibi dari jalur ayah)
e)      Para khalah ( para bibi dari jalur ibu )
f)       Anak perempuannya saudara laki-laki
g)      Anak perempuannya saudara perempuan.

4)     Wanita yang haram dinikahi lagi karena sebab li’an.
  Li’an adalah persaksian seorang suami sebagaimana berikut,”Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran dakwaanku bahwa istriku telah berzina. Persaksian ini diulangi hingga 4 kali, kemudian setelahnya ia berkata,”Laknat Allah akan menimpaku seandainya aku berdusta dalam dakwaanku ini.”
  Bisa disimpulkan bahwa suami yang mendakwa istrinya berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama; didera 80 kali kala ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang dengan persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera.
Walaupun dengan li’an seorang suami terbebas dari hukuman dera, akan tetapi efek yang diakibatkan dari li’an tersebut, ia harus berpisah dengan istrinya selama-lamanya. Hal ini disandarkan pada hadits Rasulullah Saw :
الْمُتَلاَعِنَانِ إِذَا تَفرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا                                                 
Artinya : “ Suami Isteri yang telah melakukan li’an (saling melaknat), jika keduanya telah cerai maka tidak boleh berkumpul kembali (dalam ikatan pernikahan) selama-lamanya”  (HR. Abu Daud)

b.      Sebab haram dinikahi sementara
Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah :
1)       Pertalian nikah
Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain.  Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat : Allah SWT berfirman :

Artinya : Janganlah kamu bertekad untuk melangsungkan akad nikah dengan perempuan dalam iddah wafat sebelum iddahnya habis”. (QS. Al Baqarah : 235)

2)       Thalaq bain kubra (cerai tiga) 
Bagi seorang laki-laki yang mencerai isterinya dengan thalaq tiga, haram baginya menikah dengan mantan isterinya itu, selama ia belum dinikahi laki-laki lain.
Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istinya tersebut dengan beberapa syarat berikut :
a)      Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru)
b)     Istrnya telah melakukan hubungan biologis dengan suami barunya.
c)      Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.
d)     Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru

Allah berfirman  :
Artinya : “Selanjutnya jika suami mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia menikah lagi dengan  suami lain. Jika suami yang baru telah mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami isteri) menikah lagi jika keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT” (AL Baqarah : 230)

3)       Memadu dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa wanita berikut  :
a)        Saudara perempuan isterinya, baik kandung seayah maupun seibu
b)       Saudara perempuan ibu isterinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu isterinya.
c)        Saudara perempuan bapak isterinya (bibi isterinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan bapak isterinya.
d)       Anak perempuan saudara permpuan isterinya (kemenakan isterinya) baik kandung seayah maupun seibu
e)        Anak perempuan saudara laki-laki isterinya baik kandung seayah maupun seibu
f)         Semua perempuan yang bertalian susuan dengan isterinya.

Allah SWT berfirman :

Artinya : Diharamkan bagimu memadu dua orang  permpuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (QS. An Nisa : 23)
Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di atas juga berlaku bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya, selama istri yang tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya tidak boleh menikah dengan wanita-wanita di atas.

4)       Berpoligami lebih dari empat
Seorang laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal 4 orang wanita.

5)       Perbedaan agama
Mahram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam  :
a)        Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim
b)       Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama selain islam.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 221
وَلَا تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ. وَلَا تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
Artinya:”Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budah yang mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.”

4.  PRINSIP KAFAAH DALAM PERNIKAHAN
a.     Pengertian kafaah
Kafaah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami dan calon isteri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.
b.    Hukum Kafaah
Kafaah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang perempuan rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi walinya tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal). Demikian pula sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan gugatan fasakh. Kafaah adalah hak bagi seseorang. Karena itu  jika yang berhak rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.
Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
1)       Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan), kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi  dan kekayaan
2)       Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.

a.    Kufu ditinjau dari segi agama. Firman Allah SWT :
Artinya : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekali pun ia sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita-wanita mukmin kamu) dengan pria musyrik sehingga mereka beriman. Sungguh budak laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun menggiurkanmu. (QS. Al Baqarah 221)

Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap sekufu.

b.    Kufu’ dilihat dari segi iffah
Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari segala sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak dianggap sekufu ketika orang yang baik dan mulia menikah dengan seorang pelacur, walaupun mereka berdua seagama. Allah SWT berfirman :
Artinya :  “Laki-laki yang berzina tidak boleh menikahi dengan siapapun, kecuali dengan wanita yang berzina atau wanita musyrik, dan wanita yang berzina siapapun tidak boleh menikahinya, kecuali laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan demikian yang diharamkan atas orang-orang yang beriman”. (QS. An Nur : 3)

5.    SYARAT DAN RUKUN NIKAH
a.    Pengertian
Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus dipenuhi, hingga pernikahan menjadi syah
b.    Syarat dan Rukun nikah
Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut penjelasan singkatnya :
1)   Calon suami, syaratnya :
a).  Beragama Islam
b).  Ia benar-benar seorang laki-laki
c).  Menikah bukan karena dasar paksaan
d).  Tidak beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah satu dari keempat istrinya, selama istri yang tercerai masih dalam masa ’iddah, maka ia masih dianggap istrinya. Dalam keadaan semisal ini, laki-laki tersebut tidak boleh menikah dengan wanita lain.
e).  Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
f). calon istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan istrinya, seperti menikahi saudara perempuan kandung istrinya (ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan melakukan poligami)
g). Tidak sedang berihram haji atau umrah

2)   Calon isteri, syaratnya :
a). Beragama islam
b). Benar-benar seorang perempuan
c). Mendapat izin menikah dari walinya
d). Bukan sebagai istri orang lain
e). Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)
e). Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya
f).  Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina)
g). Atas kemauan sendiri
h). Tidak sedang ihram haji atau umrah

3)   Wali, syaratnya :
a). Laki-laki
b). Beragama Islam
c). Baligh (dewasa)
d). Berakal
e). Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
f). Adil
g). Tidak sedang ihram haji atu umrah

4)   Dua orang saksi, syaratnya :
a). Dua orang laki-laki
b). Beragama islam
c). Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil
d). Melihat dan mendengar
e). Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f). Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
g). Hadir dalam ijab qabul

5)   Ijab qabul, syaratnya :
a). Menggunakan kata yang bermakna menikah  (النِّكَاحُ)atau mengawinkan  (التَّزْوِيْجُ), baik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang pengantin.
b). Lafadz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan).
c). Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
d). Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun
e). Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

6.    WALI DAN SAKSI

Wali dan saksi dalam pernikahan merupakan dua hal yang sangat menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Keduanya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ ر.ض قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلم. أَيُّمَ امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيَّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلُ, فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيًّ بِهَا                                                                            
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra. ia berkata : “Rasulullah SAW bersabda, siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seijin walinya maka batallah pernikahannya, dan jika ia  telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima mas kawin lantaran ia telah menghalalkannya kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Imam yang empat kecuali Nasa’i)

a.      Wali Nikah
Ø Pengertian Wali
Seluruh madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi pilihan wanita tersebut.
Ø Kedudukan Wali
Sabda Rasulullah  SAW :
لاَتُزَوَّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوَّجِ الْمَرْأةُ نَفْسَهَا رواه ابن ماجة و الدرقطنى                       
Artinya : “Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula ia menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)
Senada dengan riwayat di atas, dalam hadits lain Rasulullah bersabda :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ                                                                      
Artinya : “Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan wali yang dewasa”.

Ø Syarat-syarat wali :
1)     Merdeka (mempunyai kekuasaan)
2)     Berakal
3)     Baligh
4)     Islam

Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu padanya haruslah memenuhi syarat-syarat berikut :
1)     Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut
2)     Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
3)     Calon suami itu mampu membayar mas kawin
4)     Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan calon pengantin wanita seperti buta dan yang semisalnya

Ø Macam tingkatan wali
Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu  wali nashab dan wali hakim. Wali nashab adalah wali dari pihak kerabat. Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan  dengan sebab tertentu.
Berikut urutan wali nasab, dari yang paling kuat memiliki hak perwalian hingga yang paling lemah.
1)     Ayah
2)     Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3)     Saudara laki-laki kandung
4)     Saudara laki-laki sebapak
5)     Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6)     Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7)     Paman (saudara bapak) sekandung
8)     Paman (saudara bapak) sebapak
9)     Anak laki-laki dan paman kandung
10) Anak laki-laki dari paman laki-laki
11)  Hakim

v Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal, dengan tiada meminta ijin terlebih dahulu kepadanya. Hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.

v Wali Hakim
Yang dimaksud dengan wali hakim adalah kepala negara yang beragama islam. Dalam konteks keindonesiaan tanggung jawab ini dikuasakan kepada menteri agama yang selanjutnya dikuasakan kepada para pegawai pencatat nikah. Simpulannya, yang bertindak sebagai wali hakim di Indonesia adalah para pegawai pencatat nikah.
Rasulullah bersabda :
السُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيًّ لَهُ
Arti nya : “Seorang sulthon (hakim/penguasa) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali (H.R. asy-Syafi’I, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan selain mereka dari hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Asyah r.a.)
·           Sebab-sebab perempuan berwali hakim yaitu
1)     Tida ada wali nashab
2)     Yang lebih dekat tidak mencukupi syarat sebagai wali dan wali yang lebih jauh tidak ada
3)     Wali yang lebih dekat ghaib (tidak berada di tempat/berada jauh di luar wilayahnya) sejauh perjalanan safar yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya
4)     Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji
5)     Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6)     Wali yang lebih dekat tidak mau menikahkan (adhol)
7)     Wali yang lebih dekat secara sembunyi-sembunyi tidak mau menikahkan (tawari)
8)     Wali yang lebih dekat mufqud hilang, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula hidup dan matinya (mafqud) 

v Wali adhal
            Wali adhol adalah wali yang tidak mau menikahkan anaknya/cucunya, karena calon suami yang akan menikahi anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya. Padahal calon suami dan anaknya/cucunya sekufu.
            Dalam keadaan semisal ini secara otomatis perwalian pindah kepada wali hakim. Karena menghalangi-halangi nikah dalam kondisi tersebut merupakan praktik adhol yang jelas merugikan calon pasangan suami istri, dan yang dapat menghilangkan kedzaliman adalah hakim. Rasulullah bersabda :
السُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه الشافعى و أبو داود و ابن حبان و غيرهم من حديث عائشة)
Artinya:  Sulthon (hakim) adlah wali bagi seseorang yang tidak mempunyai wali (H.R. asy-Syafi’i, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan selain mereka dari hadits ‘Asiyah)

Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim. Kalau adhalnya karena sebab yang logis menurut  hukum Islam, maka apa yang dilakukan wali dibolehkan. Semisal dalam beberapa keadaan berikut :
1)     Calon pengantin wanita (anaknya/cucunya) akan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu
2)     Mahar calon pengantin wanita di bawah mahar mitsli
3)     Calon pengantian wanita dipinang oleh laki-laki lain yang lebih pantas untuknya

b.      Saksi Nikah     
a.       Kedudukan saksi
Kedudukan saksi dalam pernikahan yaitu :
1.        Untuk menghilangkan fitnah atau kecuriagaan orang lain terkait hubungan pasangan suami istri.
2.        Untuk lebih menguatkan janji suci pasangan suami istri. Karena seorang saksi benar-benar menyaksikan akad nikah pasangan suami istri dan janji mereka untuk saling menopang kehidupan rumah tangga atas dasar maslahat bersama.

Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak sah suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi.

b.       Jumlah dan sayarat saksi
Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-laki. Selanjutnya ada dua pendapat tentang saksi laki-laki dan perempuan. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak syah. Pendapat pertama yang menegaskan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah bersandar pada firman Allah ta’ala:
 
Artinya : “Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui .. (QS. Al Baqarah : 282)
pendapat pertama ini diusung oleh kalangan ulama pengikut madzhab imam Abu hanifah (hanafiyyah).
c.       Syarat-syarat saksi dalam pernikahan
1)     Laki-laki
2)     Beragam Islam
3)     Baligh
4)     Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
5)     Bisa berbicara, melihat, berakal
6)     Adil

Sabda Rasulullah :
لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بَوَالِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)                                             
Artinya : “Sahnya suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.(H.R. Ahmad)

7.    IJAB QABUL
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak permpuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada  pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Adapaun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
a.       Orang yang berakal sudah tamyiz
b.       Ijab qabul diucapkan dalam satu majelis
c.       Tidak ada pertentangan antara keduanya
d.       Yang berakad adalah mendengar atau memahami bahwa keduanya melakukan akad.
e.       Lafaz ijab qabul diucapkan dengan kata nikah atau tazwij atau yang seperti dengan kata-kata itu 
f.        Tidak dibatasi dengan waktu tertentu misalnya setahun, sebulan dan sebagainya.

8. MAHAR
a.  Pengertian dan hukum Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada isteri karena sebab pernikahan. Bisa berupa uang, benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa 4)
b. Ukuran Mahar
Salah satu kewajiban suami kepada istri adalah memberikan mahar. Mahar merupakan simbol penghargaan seorang laki-laki kepada calon istrinya. Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa mahar bisa berupa benda (materi) atau kemanfaatan (non materi). Rasulullah Saw menganjurkan kesederhanaan dalam memberikan mahar. Beliau bersabda :

إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
Artinya: “Sesungguhnya nikah yang paling diberkahi adalah yang paling sederhana maharnya.” (H.R. Ahmad)
Dalam riwayat lain beliau juga bersabda :
تَزَوَّجْ وَلَوْ بَخاَ تَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ ( رواه احمد وابةدود)
Artinya:“Nikahlah engkau walau maharnya berupa cincin dari besi” ( H.R. Ahmad dan Abu Dawud )

Bahkan dalam salah satu kesempatan Rasulullah pernah menikahkan seorang laki-laki dengan hafalan qur’an yang ia miliki, setelah sebelumnya ia tak mampu menghadirkan benda apapun untuk dijadikan mahar. Rasulullah sampaikan pada lakik-laki tersebut :
قَدْ زَوَّجْتُكَ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأَنِ
Artinya:”Aku telah menikahkanmu dengan hafalan Qur’anmu.” (H.R. Bukhari Muslim)

c.  Macam-macam Mahar
Jenis mahar ada dua, yaitu :
1). Mashar Musamma yaitu mahar yang jenis dan jumlahnya disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2). Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh anggota keluarga atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan akad nikah dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda.

d.  Cara membayar Ma har
Pembayaran mahar dapat dilaksanakan secara kontan (حالا) atau dihutang. Apabila kontan maka dapat dibayarkan sebelum dan sesudah nikah. Apabila pembayaran dihutang, maka tekhnis pembayaran mahar sebagaimana berikut :
1). Wajib dibayar seluruhnya, apabila suami sudah melakukan hubungan biologis dengan istrinya, atau salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia walaupun keduanya belum pernah melakukan hubungan biologis sekali pun.
2). Wajib dibayar separoh, apabila mahar telah disebut pada waktu akad dan suami telah mencerai istri sebelum ia dicampuri. Apabila mahar tidak disebut dalam akad nikah, maka suami hanya wajib memberikan mut’ah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut:
  
Artinya : “Jika kalian menceraikan siteri-isteri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang kalian sudah tentukan.” (QS.Al Baqarah : 237).

9.    Macam-macam pernikahan terlarang
1.      Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad Saw  akan tetapi pada perkembangan selanjutnya beliau melarangnya selama-lamanya.
Banyak teks syar’i yang menjelaskan tentang haramnya nikah mut’ah. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Salmah bin al-Akwa’ ia berkata,
رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ عَامَ أَوْطَاسٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Artinya : ”Rasulullah pernah membolehkan kita untuk melakukan nikah mut’ah pada waktu peperangan Authos selama 3 hari, kemudian setelahnya Rasul melarangnya.”

2.      Nikah Syighar (kawin tukar)
Yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seorang perempuan yang dinikahkan walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
Rasulullah secara tegas telah melarang jenis pernikahan ini. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, beliau bersabda:
لَا شِغَارَ فِى الْإِسْلَامِ
Artinya:”Tidak ada (tidak syah) nikah syighar dalam Islam.”

3.       Nikah tahlil
Gambaran nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang sudah ia campuri, agar bisa dinikahi lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq bain) kepadanya.
Nikah tahlil merupakan bentuk kerjasama negatif antara muhallil (suami pertama) dan muhallal (suami kedua). Nikah tahlil ini masuk dalam kategori nikah muaqqat (nikah dalam waktu tertentu) yang terlarang sebagaimana nikah mut’ah. Dikatakan demikan karena suami kedua telah bersepakat dengan suami pertama untuk menikahi wanita yang talah ia thalaq tiga, kemudian suami kedua melakukan hubungan biologis secara formalitas dengan wanita tersebut untuk kemudian ia thalaq, agar bisa kembali dinikahi suami pertamanya.
Tentang pengharaman nikah tahlil Rasulullah telah menegaskan dalam banyak sabda beliau. Diantaranya hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. الْمُحَلِّلَ وَ الْمُحَلَّلَ
Artiinya:”Rasulullah Saw telah melaknat muhallil dan muhallal.”  (H.R. Ahmad, an-Nasa’i, dan at-Turmudzi dan ia menshahihkannya)

4.       Nikah beda Agama
Allah berfirman :
 
Artinya : “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia beriman.” (QS. AL Baqarah : 221) .

10.       HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
a.    Kewajiban bersama Suami Istri
a.  Mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun, damai, dan saling pengertian;
b.  Menyanyangi semua anak tanpa diskriminasi
c.  Memelihara, menjaga, mengajar dan mendidik anak 
b.    Kewajiban Suami
a.  Kewajiban memberi nafkah
b.  Kerwajiban bergaul dengan istri secara baik ( Q.S. an-Nisa : 19)
c.  Kewajiban memimpin keluarga ( Q.S. an-Nisa’ : 34 )
d.  Kewajiban mendidik keluarga ( Q.S. at-Tahrim : 6 )

c.    Kewajiban Isteri
a.  Kewajiban mentaati suami
b.  Kewajiban menjaga kehormatan ( Q.S. an-Nisa’ : 34 )
c.  Kewajiban mengatur umah tangga
d.  Kewajiban mendidik anak ( Q.S. al-Baqarah : 228 )

11.  THALAQ, KHULUK, FASAKH DAN IDDAH
ü Thalaq
Thalaq ialah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami dengan menggunakan lafadz tertentu. Dalam Islam thalaq merupakan perbuatan yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah bersabda dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a.:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الطَّلاَ قُ                                                                                      
Artinya : “Di antara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah adalah Thalaq”.(HR. Abu Daud dan Al Hakim)
Berdasar hadits di atas hukum thalaq adalah makruh. Akan tetapi hukum tersebut bisa berubah dalam kondisi-kondisi tertentu. Berikut penjelasan ringkasnya :
a.        Hukum thalaq menjadi wajib, bila suami istri sering bertengkar dan tidak dapat didamaikan.
b.       Hukum thalaq menjadi sunnah, jika suami tidak sanggup memberi nafkah.
c.        Hukum thalaq menjadi haram, jika thalaq akan mendatangkan madharat yang lebih besar bagi kedua belah pihak (suami istri).

·      Syarat dan Rukun thalaq
Rukun thalaq ada tiga yaitu suami, istri, dan ucapan thalaq. Adapun syarat-syarat dari setiap ketiganya sebagaimana berikut :
ü Suami yang menjatuhkan thalaq
1)       Ada ikatan pernikahan yang sah dengan istri
2)       Baligh
3)       Berakal
4)       Tidak dipaksa

ü Istri ( dithalaq)
1)       mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan suami.
2)       Masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang dijatuhkan sebelumnya.

ü Ucapan thalaq

·      Macam-macam thalaq
a.        Ditinjau dari proses menjatuhkannya.
1)       Thalaq dengan ucapan
Thalaq dengan ucapan terbagi menjadi dua :
a)         Sarih(tegas). Yaitu mengungkapkan lafadz thalaq yang tidak mungkin dipahami makna lain kecuali thalaq. Semisal ungkapan seorang suami keapada istri yang ia thalaq,“Engkau sudah berpisah denganku”
b)        Sindiran. Yaitu mengungkapkan satu lafadz yang memiliki kemungkinan makna thalaq atau yang lainnya. Semisal ungkapan seorang suami kepada istri yang ia thalaq,”Pulanglah engkau ke rumah orang tuamu.” Thalaq dengan sindiran harus disertai niat menthalaq.
2)       Thalaq dengan tulisan
3)         Thalaq dengan isyarat. Jenis thalaq ini hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.

b.       Ditinjau dari segi jumlahnya
1)         Thalaq satu, yaitu thalaq satu yang pertama kali dijatuhkan suami kepada istriya.
2)         Thalaq dua yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk yang kedua kalinya, atau thalaq yang baru pertama kali dijatuhkan suami kepada istrinya akan tetapi dua kali sekaligus.
3)         Thalaq tiga ialah thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk yang ketiga kalinya, atau pertama kali akan tetapi dengan tiga thalaq sekaligus.

Pada thalaq satu dan dua, suami boleh rujuk kepada isteri sebelum masa iddah berakhir atau dengan akad baru bila masa iddah telah habis. Akan tetapi pada thalaq tiga, suami tidak boleh rujuk dengan istrinya kecuali jika ia telah menikah dengan laki-laki lain, pernah melakukan hubungan biologis dengannya,  kemudian ia dicerai dalam kondisi normal. Bukan karena adanya konspirasi antara suami baru yang mencerainya dengan suami sebelumnya yang menjatuhkan thalaq tiga padanya –sebagaimana hal ini terjadi pada nikah tahlil yang diharamkan syariat-.

c.        Ditinjau dari segi keadaan istri
1)       Thalaq sunah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dicampuri ketika istri :
a)       Dalam keadaan suci dan saat itu ia belum dicampuri
b)      Ketika hamil dan jelas kehamilannya

2)       Thalaq bid’ah yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri ketika istri :
a)       Dalam keadaan haidh
b)      Dalam keadaan suci yang pada waktu itu ia sudah dicampuri suami
Thalaq bid’ah hukumnya haram
3)         Thalaq bukan sunah dan bukan bid’ah yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dicampuri dan belum haidh (karena masih kecil)

d.       Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk
1)         Thalaq raj’i yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istri dimana istri boleh dirujuk kembali sebelum masa iddah berakhir.
Allah Swt berfirman :
 
Artinya :  Thalaq yang dapat dirujuk adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara baik-baik, dan mencerainya dengan cara yang baik-baik pula”.(QS. Al Baqarah : 229)
2)         Thalaq bain, yaitu thalaq yang menghalangi suami untuk rujuk kembali kepada istrinya. Thalaq bain ini terbagi menjadi dua :
a)         Thalaq bain kubra, yaitu thalaq tiga. Sebagaimana Allah sampaikan dalam firman-Nya :

Artinya :  Dan jika suami menceraikannya sesudah thalaq yang kedua, maka perempuan itu boleh dinikahinya lagi hingga ia kawin dengan laki-laki. Jika suami yang lain menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami) pertama dan istri untuk kawin kembali jika keduanya berkeyakinan akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah .....(QS. Al Baqarah : 230)

b)        Thalaq bain sughra
Thalaq yang menyebabkan istri tidak boleh dirujuk, akan tetapi ia boleh dinikahi kembali dengan akad dan mas kawin baru, dan tidak harus dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain. Seperti thalaq dua yang telah habis masa iddahnya.

ü Khuluk
a.    Pengertian Khuluk
Khuluk adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan mengembalikan mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq tebus.
Terkait dengan khuluk, Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 229 :
 
 Artinya : “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak dosa bagi keduanya mendakan bayaran yang diberikan oleh pihak istri untuk menebus dirinya.”(QS. Al Baqarah : 229)

b.    Rukun Khuluk :
a)       Suami yang baligh, berakal dan dengan kemauannya
b)      Istri yang dalam kekuasaan suami. Maksudnya istri tersebut belum dithalaq suami yang menyebabkannya tidak boleh dirujuk.
c)       Ucapan yang menunjukkan khuluk
d)      Bayaran yaitu suatu yang boleh dijadikan mahar
e)       Orang yang membayar belum menggunakan hartanya,baik istri maupun orang lain.

c.    Besarnya tebusan khuluk :
 Tebusan khulu’ bisa berupa pengembalian mahar –sebagian atau seluruhnya- dan bisa juga harta tertentu yang sudah disepakati suami istri. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. dijelaskan bahwa istri Tsabit bin Qais mengadu kepada Rasulullah Saw ihwal keinginannya berpisah dari suaminya. Maka Rasulullah bertanya kepadanya apakah dia rela mengembalikan kebun yang dulu dijadikan mahar untuknya kepada Tsabit? Dan kala istri Tsabit menyatakan setuju, maka Rasul pun bersabda kepada Tsabit :
إِقْبَلْ الْحَدِيْقَةَ وَ طَلَّقْهَا تَطْلِيْقَةً
Artinya : “ Terimalah kebunnya, dan thalaqlah ia satu kali thalaq.”
Adapun terkait besar kecilnya tebusan khulu’, para ulama berselisih pendapat :
ü  Pendapat jumhur ulama: Tidak ada batasan jumlah dalam tebusan khulu’. Dalil yang mereka jadikan sandaran terkait masalah ini adalah firman Allah dalam surat al-Baqarrah ayat 229 –sebagaimana tersebut di atas-.
ü  Pendapat sebagian ulama: Tebusan khulu’ tidak boleh melebihi mas kawin yang pernah diberikan suami.

d.    Dampak syar’i yang ditimbulkan khulu’
     Ketika terjadi khulu’, maka suami tidak bisa merujuk istrinya, walaupun khulu’ tersebut baru masuk kategori thalaq satu ataupun dua dan istri masih dalam masa iddahnya. Seorang suami yang ingin kembali kepada istrinya setelah terjadinya khulu’ harus mengadakan akad nikah baru dengannya.

ü Fasakh
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Adapun dalam pembahasan fiqh fasakh adalah pemisahan pernikahan yang dilakukan hakim dikarenakan alasan tertentu yang diajukan salah satu pihak dari suami istri yang bersangkutan.
a.    Sebab –sebab fasakh
1.    Tidak terpenuhiknya syarat-syarat akad nikah, semisal seseorang yang menikahi wanita yang ternyata adalah saudara perempuannya.
2.    Munculnya masalah yang dapat merusak pernikahan dan menghalangi tercapainya tujuan pernikahan, sebagaimana beberapa hal berikut :
ü  Murtadnya salah satu dari pasangan suami istri
ü  Hilangnya suami dalam tempo waktu yang cukup lama
ü  Miskinnya seorang suami hingga tidak mampu memberi nafkah keluarga
ü  Dipenjarakannya suami, dan beberapa hal lainnya.


ü Iddah
Iddah ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak menikah bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.
a.    Macam-macam iddah :
1.    Iddah Istri yang dicerai dan ia masih haidh, lamanya tiga kali suci.
2.    Iddah Istri yang dicerai dan ia sudah tidak haidh, lamanya tiga bulan
3.    Iddah Istri yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil.
4.    Iddah Istri yang dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai melahirkan
5.    Iddah Istri yang ditinggal wafat suaminya dalam keadaan hamil masa iddahnya menurut sebagian ulama adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan.

b.    Kewajiban Suami isteri selama masa iddah
1.    Kewajiban Suami
Suami yang mencerai isterinya berkewajiban memberi belanja dan tempat tinggal selama iddahnya belum berakhir. Berikut penjelasan singkatnya:
ü  Perempuan yang dicerai dengan tahlaq raj’i berhak mendapatkan belanja dan tempat tinggal
Nabi bersabda :
 إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ
Artinya :  “Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah bagi orang yang bisa merujuk istrinya atau bagi istri yang bisa diruju’ (HR. Ahmad dan Nasai).

ü  Perempuan yang dithalaq bain dan ia dalam keadaan hamil berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Allah berfirman :
 
 Artinya : Jika istri-istri yang telah dicerai sedang hamil berilah mereka uang belanja sampai mereka melahirkan” (QS. Ath Thalaq : 6).

ü  Perempuan yang di thalaq bain dan tidak hamil berhak memperoleh tempat tinggal saja dan tidak berhak memperoleh belanja. Allah berfiman:


  Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahka mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”. (QS. Ath Thalaq : 6).

ü  Perempuan yang ditinggal wafat suami baik hamil atau tidak ia tidak berhak memperoleh uang belanja atau tempat tinggal karena ia mendapat warisan dari harta peninggalan suaminya.

2.    Kewajiban istri selama masa iddah
Wanita yang dicerai suaminya wajib menetap dirumah suaminya selama iddahnya belum berakhir. Allah SWT berfirman :
 
Artinya :  “Jangan kamu keluarkan mereka istri-istri yang telah dicerai dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (QS. Ath-Thalaq : 1)

c.    Tujuan Iddah :
1.        Menghilangkan keraguan tentang kosongnya rahim bekas istri.
Allah berfirman :


Artinya :.....Mereka tidak boleh menyembunyikan anak yang dijadikan Allah SWT dalam rahim bila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir .....” (QS. Al Baqarah : 228)

2.        Untuk memudahkan proses rujuk antara suami dan bekas istrinya.
 
Artinya : “dan para suami yang lebih berhak merujuk bekas istri mereka itu dalam masa jika mereka para suami menghendaki damai” (QS. AL Baqarah : 228)

3.        Untuk menjaga perasaan keluarga mantan suami yang sedang berkabung (ini terkait dengan iddahnya wanita kala ditinggal mati suaminya).

12.              HADANAH
Hadanah adalah memelihara anak dan mendidiknya dengan baik.
a.    Syarat-syarat hadanah :
1.       Berakal.
2.       Beragama.
3.       Medeka.
4.       Baligh.
5.       Mampu mendidik.
6.       Amanah.

b.    Tahap-tahap hadanah
Jika suami istri bercerai maka kepengurusan anak mengikuti aturan sebagaimana berikut :
1.       Jika anak masih kecil dalam pangkuan ibunya, maka ibu lebih berhak memeliharanya.
2.       Anak yang sudah dapat bekerja, pemeliharaannya dipasrahkan kepada anak tersebut, apakah ia akan memilih ibunya atau bapaknya. Ia bebasa dengan pilihannya.

13.              RUJUK
Rujuk adalah kembalinya suami kepada istrinya yang telah dicerai, kala istrinya masih dalam masa iddah.
Allah SWT. berfirman :

Artinya :  “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu mereka menghendaki akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan cara yang baik pula.” (QS. Al Baqarah : 231)
a.    Hukum rujuk
Hukum asal rujuk adalah boleh (jaiz), kemudian berkembang sesudai dengan keadaan yang menggiringi proses rujuk tersebut. Berikut rangkuman hukum rujuk :
1.         Haram, apabila rujuk mengakibatkan kerugian atau kemadharatan di pihak istri.
2.         Makruh, apabila bercerai lebih bermanfaat daripada rujuk.
3.         Sunnah, apabila rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian
4.         Wajib, hukum ini dikhususkan bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu jika salah seorang dithalaq sebelum gilirannya disempurnakan.

b.    Syarat dan rukun rujuk :
1.       Untuk istri, apabila:
a.        sudah pernah dicampuri
b.       thalaq yang dijatuhkan adalah talaq raj’i
c.        dalam massa iddah
2.       Untuk suami apabila:
a.        Islam
b.       Baligh
c.        Berakal
d.       Tidak dipaksa

c.    Sighat / ucapan rujuk dari suami
Sighat rujuk yang diucapkan suami kepada istrinya bisa bernada tegas, dan juga bisa bernada sindiran. Untuk sighat rujuk dengan nada sindiran dibutuhkan niat, hingga benar-benar bisa dideteksi bahwa sang suami telah benar-benar meminta kembali istrinya.
d.    Saksi dalam masalah rujuk
Saksi dalam rujuk sama dengan syarat saksi dalam thalaq, yaitu dua orang laki-laki yang adil.

e.    Hikmah rujuk
1.         Rujuk akan mewujudkan ajaran kedamaian dalam islam.
2.         Rujuk akan menghindari pecahnya hubungan kekerabatan.
3.         Rujuk akan menyelamatkan pendidikan anak-anak.
4.         Rujuk akan menghindarkan diri dari gangguan jiwa.
5.         Rujuk akan menghindarkan diri dari praktik dosa.
6.         Rujuk akan kembali menjadi ladang amal suami untuk menunaikan kewajiban yang sempat ia tinggalkan sementara waktu akibat perceraian.


Sumber : Buku Fiqih XI Kurikulum 2013

No comments: