1. PENGERTIAN DAN HUKUM NIKAH
a. Pengertian
Nikah
Kata
Nikah(نِكَاحٌ) atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam
bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (زَوَاجٌ). Nikah artinya
suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahramnya hingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya,
dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan
batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan
keturunan.
b. Hukum Pernikahan
Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at Islam,
demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat
an-Nisa’ ayat 3:
فَانْكِحُوْا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النّسَاءِ مَثْنَى
وَ ثُلَاثَ وَ رُبَاعُ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
Artinya :“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (QS. An Nisa: 3)
Rasulullah
bersabda :
عَنْ
اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُ : اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَمِدَ اللهُ وَاَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : لَكِنِّى اَنَا اُصَلِّى
وَاَنَامُ وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya :“Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya Nabi SAW memunji Allah dan menyanjungnya,
beliau bersabda : “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan,
dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka
bukanlah dia dari golonganku (Bukhari Muslim)
Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :
1. Mubah
Hukum
asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak
terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
2. Sunnah.
Hukum
ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu
secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan
dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya
(hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik
perzinaan).
Sabda Rasulullah :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ,
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya : “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah,.
Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa
tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR.
Bukhari dan muslim)
3. Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan
rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan
terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak
diwujudkan.
4. Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal
untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk
menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam
praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya.
Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya,
disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Dan kala dirinya
telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera
menikah.
5.
Haram
Hukum
ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya,
mempermainkannya serta memeras hartanya.
2. PERSIAPAN PELAKSANAAN PERNIKAHAN
a. Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada
seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah
berlaku di masyarakat. Terkait dengan permasalahan khitbah Allah Swt berfirman :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِى أَنْفُسِكُمْ
Artinya : “Dan tak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus
menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu … (QS. Al Baqarah
: 235).
v Cara mengajukan
pinangan
Ø Pinangan kepada
gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara terang-terangan
Ø Pinangan kepada
janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati suami
tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya
boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam
surat al-Baqarah ayat 235 di atas.
v Perempuan yang
boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
ü
Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri
orang.
ü
Perempuan yang tidak dalam masa ’iddah.
ü
Perempuan yang belum dipinang orang lain.
Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَحْطُبُ اَحَدَكُمْ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى
يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ يَأْذَنَ لَهُ
Artinya : “Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas pinangan
saudaranya, kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau
memberikan ijin kepadanya (HR.Bukhari dan Muslim)
Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan
atau sindiran.
b. Melihat calon
isteri atau suami
Melihat perempuan yang
akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan
pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk
mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya terwujud keluarga
yang bahagia.
Beberapa pendapat tentang batas
kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang yaitu :
a.
Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak
tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan
kecantikannya.
b.
Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c.
Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan
telapak tangan.
Mughirah bin Syu’ban
telah meminang seorang perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya,
Apakah engkau telah melihatnya? Mughirah berkata “Belum” Rasulullah bersabda :
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرَى أَنْ يُؤْدِمَ
بَيْنَكُمَا
Artinya : “Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan
lebih membawa kepada kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Thurmudzi)
3. MAHRAM ATAU PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI
Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun
perempuan yang haram dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang
perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi
dua yaitu
a. Sebab haram dinikah untuk selamanya
Dapat dibagi menjadi empat yaitu
:
1)
Wanita-wanita yang
haram dinikahi karena nasab. Mereka adalah :
a)
Ibu
b)
Nenek secara mutlak dan semua jalur ke
atasnya
c)
Anak perempuan dan anak perempuannya
beserta semua jalur ke bawah
d)
Anak perempuan dari anak laki-laki dan
perempuannya beserta semua jalur ke bawah
e)
Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak
perempuan dan anak perempuannya anak laki-laki dan saudara perempuan tersebut
beserta jalur ke bawah.
f)
Ammah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak
beserta jalur ke atasnya
g)
Khalah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak
beserta jalur ke atasnya
h)
Anak perempuannya
saudara laki-laki secara mutlak
i)
Anak perempuannya anak
laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke bawahnya.
Artinya : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan
kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, (bibi jalur ayah),
saudara-saudara perempuan ibu kalian (bibi daru jalur ibu) anak-anak
perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara
perempuan kalian “ ...... (Q.S. An Nisa: 23)
2)
Wanita-wanita yang haram dinikahi karena
pertalian nikah, mereka adalah :
a)
Isteri ayah dan Istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena Allah SWT
berfirman :
Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa
22)
b) Ibu Istri (ibu
mertua) dan nenek ibu istri
c)
Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang telah
menggauli ibunya, anak perempuannya istri (cucu perempuan dari anak perempuan
tiri), anak perempuannya anak laki-laki istri ( cucu perempuan dari anak
laki-laki tiri), karena Allah SWT berfirman :
Artinya : (diharamkan atas
kalian menikahi) ibu-ibu isteri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri
kalian yang ada dalam pemeliharan kalian
dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan
isteri kalian itu ( dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kalian
mengawininya” (QS.An Nisa: 23).
3)
Wanita-wanita yang haram dinikahi karena
susuan.
a) Ibu-ibu yang
diharamkan dinikahi karena sebab nasab
b) Anak-anak
perempuan
c) Saudara-saudara
perempuan
d) Para ammah (para bibi dari jalur ayah)
e)
Para khalah ( para bibi dari jalur ibu )
f) Anak
perempuannya saudara laki-laki
g) Anak
perempuannya saudara perempuan.
4) Wanita yang
haram dinikahi lagi karena sebab li’an.
Li’an adalah persaksian
seorang suami sebagaimana berikut,”Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran
dakwaanku bahwa istriku telah berzina. Persaksian ini diulangi hingga 4 kali,
kemudian setelahnya ia berkata,”Laknat Allah akan menimpaku seandainya aku
berdusta dalam dakwaanku ini.”
Bisa disimpulkan bahwa suami
yang mendakwa istrinya berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama;
didera 80 kali kala ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang dengan
persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera.
Walaupun dengan li’an seorang suami terbebas dari hukuman dera,
akan tetapi efek yang diakibatkan dari li’an tersebut, ia harus berpisah dengan
istrinya selama-lamanya. Hal ini disandarkan pada hadits Rasulullah Saw :
الْمُتَلاَعِنَانِ
إِذَا تَفرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا
Artinya : “ Suami Isteri yang telah melakukan li’an (saling melaknat), jika
keduanya telah cerai maka tidak boleh berkumpul kembali (dalam ikatan
pernikahan) selama-lamanya” (HR. Abu
Daud)
b. Sebab haram dinikahi sementara
Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang
wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka
wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah :
1) Pertalian nikah
Perempuan yang masih dalam ikatan
perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain.
Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak
maupun iddah wafat : Allah SWT berfirman :
Artinya : “Janganlah
kamu bertekad untuk melangsungkan akad nikah dengan perempuan dalam
iddah wafat sebelum iddahnya habis”. (QS. Al Baqarah : 235)
2)
Thalaq bain kubra (cerai tiga)
Bagi
seorang laki-laki yang mencerai isterinya dengan thalaq tiga, haram baginya
menikah dengan mantan isterinya itu, selama ia belum dinikahi laki-laki lain.
Dengan
kata lain, ia bisa menikahi kembali istinya tersebut dengan beberapa syarat
berikut :
a) Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru)
b) Istrnya telah melakukan hubungan biologis dengan suami barunya.
c) Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.
d) Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru
Allah berfirman :
Artinya : “Selanjutnya jika suami mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak
boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia menikah lagi dengan suami lain. Jika suami yang baru telah
mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami isteri) menikah lagi jika
keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh
Allah SWT” (AL Baqarah : 230)
3)
Memadu dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan
pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa wanita berikut :
a)
Saudara perempuan isterinya, baik kandung seayah maupun seibu
b) Saudara
perempuan ibu isterinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu
dengan ibu isterinya.
c)
Saudara perempuan bapak isterinya (bibi isterinya) baik kandung
seayah atupun seibu dengan bapak isterinya.
d) Anak perempuan
saudara permpuan isterinya (kemenakan isterinya) baik kandung seayah maupun
seibu
e)
Anak perempuan saudara laki-laki isterinya baik kandung seayah
maupun seibu
f)
Semua perempuan yang bertalian susuan dengan isterinya.
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Diharamkan bagimu memadu dua orang permpuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau. (QS. An Nisa : 23)
Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di atas juga berlaku
bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya, selama istri yang
tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya tidak boleh menikah
dengan wanita-wanita di atas.
4)
Berpoligami lebih dari empat
Seorang laki-laki
yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena
syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal 4
orang wanita.
5)
Perbedaan agama
Mahram nikah karena perbedaan agama, ada dua
macam :
a)
Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi
laki-laki muslim
b) Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu
orang musyrik atau penganut agama selain islam.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 221
وَلَا تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ. وَلَا
تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
Artinya:”Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita-wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budah yang mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu.”
4. PRINSIP KAFAAH
DALAM PERNIKAHAN
a. Pengertian
kafaah
Kafaah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan
dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau
kesetaraan antara calon suami dan calon isteri dari segi (keturunan), status
sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.
b.
Hukum Kafaah
Kafaah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang perempuan
rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi walinya tidak
rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal). Demikian pula
sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki
yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan gugatan fasakh. Kafaah adalah
hak bagi seseorang. Karena itu jika yang
berhak rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.
Beberapa
pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
1) Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab
(keturunan), kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi dan kekayaan
2) Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan
menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu
dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya
buruk tidak sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.
a. Kufu ditinjau dari segi agama. Firman Allah SWT :
Artinya : “Janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak
yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekali pun ia
sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu menikahkan
(wanita-wanita mukmin kamu) dengan pria musyrik sehingga mereka beriman.
Sungguh budak laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik
walaupun menggiurkanmu. (QS. Al Baqarah 221)
Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan
sekufu dari segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika
seorang yang beriman menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan
keduanya tidak dianggap sekufu.
b.
Kufu’ dilihat dari segi iffah
Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari
segala sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak dianggap sekufu
ketika orang yang baik dan mulia menikah dengan seorang pelacur, walaupun
mereka berdua seagama. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak boleh menikahi
dengan siapapun, kecuali dengan wanita yang berzina atau wanita musyrik, dan
wanita yang berzina siapapun tidak boleh menikahinya, kecuali laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik. Dan demikian yang diharamkan atas orang-orang yang beriman”. (QS.
An Nur : 3)
5.
SYARAT DAN RUKUN NIKAH
a. Pengertian
Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus dipenuhi, hingga
pernikahan menjadi syah
b.
Syarat dan Rukun nikah
Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut penjelasan singkatnya :
1)
Calon suami, syaratnya :
a). Beragama Islam
b). Ia
benar-benar seorang laki-laki
c).
Menikah bukan karena dasar paksaan
d).
Tidak beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah satu dari
keempat istrinya, selama istri yang tercerai masih dalam masa ’iddah, maka ia
masih dianggap istrinya. Dalam keadaan semisal ini, laki-laki tersebut tidak
boleh menikah dengan wanita lain.
e).
Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
f). calon istri bukanlah wanita yang haram
dimadu dengan istrinya, seperti menikahi saudara perempuan kandung istrinya
(ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan melakukan poligami)
g). Tidak sedang berihram haji atau umrah
2)
Calon isteri, syaratnya :
a).
Beragama islam
b). Benar-benar seorang perempuan
c). Mendapat izin menikah dari walinya
d). Bukan sebagai istri orang lain
e). Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang
sedang dalam masa ‘iddah)
e). Tidak memiliki hubungan mahram dengan
calon suaminya
f).
Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat
suaminya karena tertuduh zina)
g). Atas kemauan sendiri
h). Tidak sedang ihram haji atau umrah
3)
Wali, syaratnya :
a). Laki-laki
b). Beragama Islam
c). Baligh (dewasa)
d). Berakal
e). Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba
sahaya)
f). Adil
g).
Tidak sedang ihram haji atu umrah
4)
Dua orang saksi, syaratnya :
a). Dua orang laki-laki
b). Beragama islam
c). Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil
d). Melihat dan mendengar
e). Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f). Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau
umrah
g). Hadir dalam ijab qabul
5)
Ijab qabul, syaratnya :
a). Menggunakan
kata yang bermakna menikah (النِّكَاحُ)atau
mengawinkan (التَّزْوِيْجُ), baik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang
pengantin.
b). Lafadz ijab
qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin
perempuan).
c). Antara ijab
dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
d). Pelaksanaan
ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu
persyaratan apapun
e). Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
6.
WALI DAN SAKSI
Wali dan saksi dalam pernikahan merupakan dua hal yang sangat
menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Keduanya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ ر.ض
قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلم.
أَيُّمَ امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيَّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلُ,
فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَاِنِ
اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيًّ بِهَا
Artinya : “Dari ‘Aisyah
ra. ia berkata : “Rasulullah SAW bersabda, siapapun perempuan yang menikah
dengan tidak seijin walinya maka batallah pernikahannya, dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu
berhak menerima mas kawin lantaran ia telah menghalalkannya kemaluannya, dan
jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali
bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Imam yang empat kecuali Nasa’i)
a.
Wali Nikah
Ø Pengertian Wali
Seluruh madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali
perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi
pilihan wanita tersebut.
Ø Kedudukan Wali
Sabda Rasulullah SAW :
لاَتُزَوَّجُ
الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوَّجِ الْمَرْأةُ نَفْسَهَا رواه ابن ماجة و
الدرقطنى
Artinya : “Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula ia
menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)
Senada dengan riwayat di atas, dalam hadits
lain Rasulullah bersabda :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
Artinya : “Tidaklah
sah pernikahan kecuali dengan wali yang dewasa”.
Ø
Syarat-syarat wali :
1) Merdeka (mempunyai kekuasaan)
2) Berakal
3) Baligh
4) Islam
Bapak atau kakek calon pengantin wanita
yang dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu
padanya haruslah memenuhi syarat-syarat berikut :
1) Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut
2)
Sekufu’ antara perempuan
dengan laki-laki calon suaminya
3)
Calon suami itu mampu
membayar mas kawin
4)
Calon suami tidak
cacat yang membahayakan pergaulan dengan calon pengantin wanita seperti buta
dan yang semisalnya
Ø
Macam tingkatan wali
Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu wali nashab dan wali hakim. Wali nashab
adalah wali dari pihak kerabat. Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang diberi
hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan dengan sebab tertentu.
Berikut urutan wali nasab, dari yang paling
kuat memiliki hak perwalian hingga yang paling lemah.
1) Ayah
2) Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara laki-laki sebapak
5)
Anak laki-laki saudara
laki-laki kandung
6)
Anak laki-laki saudara
laki-laki sebapak
7) Paman (saudara bapak) sekandung
8) Paman (saudara bapak) sebapak
9)
Anak laki-laki dan
paman kandung
10) Anak laki-laki dari paman laki-laki
11) Hakim
v Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang berhak
menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal, dengan tiada meminta
ijin terlebih dahulu kepadanya. Hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali
mujbir.
v Wali Hakim
Yang dimaksud dengan wali hakim adalah
kepala negara yang beragama islam. Dalam konteks keindonesiaan tanggung jawab
ini dikuasakan kepada menteri agama yang selanjutnya dikuasakan kepada para
pegawai pencatat nikah. Simpulannya, yang bertindak sebagai wali hakim di
Indonesia adalah para pegawai pencatat nikah.
Rasulullah bersabda :
السُّلْطَانُ
وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيًّ لَهُ
Arti nya : “Seorang sulthon (hakim/penguasa) adalah wali bagi yang tidak mempunyai
wali (H.R. asy-Syafi’I, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan selain mereka dari hadits
yang diriwayatkan sayyidah ‘Asyah r.a.)
·
Sebab-sebab perempuan berwali hakim yaitu
1) Tida ada wali nashab
2) Yang lebih dekat tidak mencukupi syarat sebagai wali dan wali yang lebih
jauh tidak ada
3) Wali yang lebih dekat ghaib (tidak berada di tempat/berada jauh di luar
wilayahnya) sejauh perjalanan safar yang membolehkan seseorang mengqashar
shalatnya
4) Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji
5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6)
Wali yang lebih dekat
tidak mau menikahkan (adhol)
7)
Wali yang lebih dekat secara
sembunyi-sembunyi tidak mau menikahkan (tawari)
8)
Wali yang lebih dekat
mufqud hilang, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula hidup dan
matinya (mafqud)
v Wali adhal
Wali adhol adalah wali yang tidak
mau menikahkan anaknya/cucunya, karena calon suami yang akan menikahi
anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya. Padahal calon suami dan anaknya/cucunya sekufu.
Dalam
keadaan semisal ini secara otomatis perwalian pindah kepada wali hakim. Karena
menghalangi-halangi nikah dalam kondisi tersebut merupakan praktik adhol yang
jelas merugikan calon pasangan suami istri, dan yang dapat menghilangkan
kedzaliman adalah hakim. Rasulullah bersabda :
السُّلْطَانُ
وَلِيٌّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رواه الشافعى و أبو داود و ابن حبان و غيرهم من
حديث عائشة)
Artinya: Sulthon (hakim) adlah wali bagi
seseorang yang tidak mempunyai wali (H.R. asy-Syafi’i, Abu Dawud, Ibnu Hibban,
dan selain mereka dari hadits ‘Asiyah)
Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka
perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim. Kalau adhalnya karena
sebab yang logis menurut hukum Islam,
maka apa yang dilakukan wali dibolehkan. Semisal dalam beberapa keadaan berikut :
1)
Calon pengantin wanita
(anaknya/cucunya) akan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu
2) Mahar calon pengantin wanita di bawah mahar mitsli
3) Calon pengantian wanita dipinang oleh laki-laki lain yang lebih pantas
untuknya
b.
Saksi Nikah
a.
Kedudukan saksi
Kedudukan saksi dalam pernikahan
yaitu :
1.
Untuk menghilangkan
fitnah atau kecuriagaan orang lain terkait hubungan pasangan suami istri.
2.
Untuk lebih menguatkan
janji suci pasangan suami istri. Karena seorang saksi benar-benar
menyaksikan akad nikah pasangan suami istri dan janji mereka untuk saling
menopang kehidupan rumah tangga atas dasar maslahat bersama.
Seperti halnya wali, saksi juga
salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak sah suatu pernikahan yang
dilaksanakan tanpa saksi.
b.
Jumlah dan sayarat saksi
Saksi dalam pernikahan
disyaratkan dua orang laki-laki. Selanjutnya ada dua pendapat tentang saksi
laki-laki dan perempuan. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan yang
disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah. Sedangkan pendapat
kedua mengatakan tidak syah. Pendapat pertama yang menegaskan bahwa pernikahan
yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah bersandar pada
firman Allah ta’ala:
Artinya : “Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada angkatlah
satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui .. (QS. Al Baqarah
: 282)
pendapat
pertama ini diusung oleh kalangan ulama pengikut madzhab imam Abu hanifah
(hanafiyyah).
c. Syarat-syarat
saksi dalam pernikahan
1) Laki-laki
2) Beragam Islam
3) Baligh
4) Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
5) Bisa berbicara,
melihat, berakal
6) Adil
Sabda
Rasulullah :
لاَ
نِكَاحَ اِلاَّ بَوَالِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)
Artinya : “Sahnya suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”.(H.R. Ahmad)
7.
IJAB QABUL
Ijab yaitu
ucapan wali (dari pihak permpuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul
yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Adapaun syarat-syarat ijab qabul adalah
sebagai berikut :
a.
Orang yang berakal sudah tamyiz
b.
Ijab qabul diucapkan dalam satu majelis
c.
Tidak ada pertentangan antara keduanya
d.
Yang berakad adalah mendengar atau memahami
bahwa keduanya melakukan akad.
e.
Lafaz ijab qabul diucapkan dengan kata
nikah atau tazwij atau yang seperti dengan kata-kata itu
f.
Tidak dibatasi dengan waktu tertentu
misalnya setahun, sebulan dan sebagainya.
8. MAHAR
a. Pengertian dan hukum Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib
dari suami kepada isteri karena sebab pernikahan. Bisa berupa uang, benda,
perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Bayarkanlah
mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta
(QS. An Nisa 4)
b. Ukuran Mahar
Salah satu kewajiban suami kepada istri adalah memberikan mahar.
Mahar merupakan simbol penghargaan seorang laki-laki kepada calon istrinya.
Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa mahar bisa berupa benda (materi) atau
kemanfaatan (non materi). Rasulullah Saw menganjurkan kesederhanaan dalam
memberikan mahar. Beliau bersabda :
إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً
Artinya:
“Sesungguhnya nikah yang paling diberkahi adalah yang paling sederhana
maharnya.” (H.R. Ahmad)
Dalam riwayat
lain beliau juga bersabda :
تَزَوَّجْ وَلَوْ بَخاَ تَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ ( رواه احمد
وابةدود)
Artinya:“Nikahlah
engkau walau maharnya berupa cincin dari besi” ( H.R. Ahmad dan Abu Dawud )
Bahkan
dalam salah satu kesempatan Rasulullah pernah menikahkan seorang laki-laki
dengan hafalan qur’an yang ia miliki, setelah sebelumnya ia tak mampu
menghadirkan benda apapun untuk dijadikan mahar. Rasulullah sampaikan pada
lakik-laki tersebut :
قَدْ
زَوَّجْتُكَ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأَنِ
Artinya:”Aku
telah menikahkanmu dengan hafalan Qur’anmu.” (H.R. Bukhari Muslim)
c. Macam-macam Mahar
Jenis mahar ada dua, yaitu :
1). Mashar Musamma yaitu mahar yang jenis dan
jumlahnya disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2). Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau
kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh anggota keluarga
atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan akad nikah dengan melihat
status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda.
d. Cara membayar
Ma har
Pembayaran mahar dapat dilaksanakan secara
kontan (حالا) atau dihutang. Apabila kontan maka dapat dibayarkan sebelum dan sesudah
nikah. Apabila pembayaran dihutang, maka tekhnis pembayaran mahar sebagaimana
berikut :
1). Wajib dibayar seluruhnya, apabila suami
sudah melakukan hubungan biologis dengan istrinya, atau salah satu dari
pasangan suami istri meninggal dunia walaupun keduanya belum pernah melakukan
hubungan biologis sekali pun.
2). Wajib dibayar separoh, apabila mahar telah disebut pada waktu
akad dan suami telah mencerai istri sebelum ia dicampuri. Apabila mahar tidak
disebut dalam akad nikah, maka suami hanya wajib memberikan mut’ah. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut:
Artinya : “Jika kalian
menceraikan siteri-isteri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka,
padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang kalian sudah tentukan.” (QS.Al Baqarah : 237).
9. Macam-macam
pernikahan terlarang
1.
Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad Saw akan tetapi pada perkembangan selanjutnya
beliau melarangnya selama-lamanya.
Banyak teks syar’i yang menjelaskan tentang haramnya nikah mut’ah.
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Salmah bin al-Akwa’ ia
berkata,
رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فِى مُتْعَةِ
النِّسَاءِ عَامَ أَوْطَاسٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Artinya : ”Rasulullah
pernah membolehkan kita untuk melakukan nikah mut’ah pada waktu peperangan
Authos selama 3 hari, kemudian setelahnya Rasul melarangnya.”
2.
Nikah Syighar (kawin tukar)
Yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seorang perempuan yang
dinikahkan walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa
laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang berada
di bawah perwaliannya.
Rasulullah secara tegas telah melarang jenis pernikahan ini. Dalam
salah satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, beliau bersabda:
لَا شِغَارَ فِى الْإِسْلَامِ
Artinya:”Tidak ada (tidak syah) nikah syighar dalam Islam.”
3.
Nikah tahlil
Gambaran nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya
yang sudah ia campuri, agar bisa dinikahi lagi oleh suami pertamanya yang
pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq bain) kepadanya.
Nikah tahlil merupakan bentuk kerjasama negatif antara muhallil
(suami pertama) dan muhallal (suami kedua). Nikah tahlil ini masuk dalam
kategori nikah muaqqat (nikah dalam waktu tertentu) yang terlarang sebagaimana
nikah mut’ah. Dikatakan demikan karena suami kedua telah bersepakat dengan
suami pertama untuk menikahi wanita yang talah ia thalaq tiga, kemudian suami
kedua melakukan hubungan biologis secara formalitas dengan wanita tersebut
untuk kemudian ia thalaq, agar bisa kembali dinikahi suami pertamanya.
Tentang pengharaman nikah tahlil Rasulullah telah menegaskan dalam
banyak sabda beliau. Diantaranya hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud
r.a., ia berkata :
لَعَنَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م. الْمُحَلِّلَ وَ الْمُحَلَّلَ
Artiinya:”Rasulullah Saw telah melaknat muhallil dan muhallal.” (H.R. Ahmad,
an-Nasa’i, dan at-Turmudzi dan ia menshahihkannya)
4.
Nikah beda Agama
Allah berfirman :
Artinya : “Jangan nikah perempuan-perempuan
musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman
lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena
kecantikannya) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki
musyrik sehingga ia beriman.” (QS. AL Baqarah : 221) .
10. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI
ISTERI
a.
Kewajiban bersama Suami Istri
a. Mewujudkan
pergaulan yang serasi, rukun, damai, dan saling pengertian;
b. Menyanyangi semua anak
tanpa diskriminasi
c. Memelihara,
menjaga, mengajar dan mendidik anak
b.
Kewajiban Suami
a. Kewajiban memberi nafkah
b. Kerwajiban bergaul dengan
istri secara baik ( Q.S. an-Nisa : 19)
c. Kewajiban
memimpin keluarga ( Q.S. an-Nisa’ : 34 )
d. Kewajiban
mendidik keluarga ( Q.S. at-Tahrim : 6 )
c.
Kewajiban Isteri
a. Kewajiban mentaati suami
b. Kewajiban menjaga kehormatan ( Q.S. an-Nisa’ :
34 )
c. Kewajiban mengatur umah
tangga
d. Kewajiban mendidik anak ( Q.S. al-Baqarah :
228 )
11. THALAQ, KHULUK,
FASAKH DAN IDDAH
ü
Thalaq
Thalaq ialah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami dengan
menggunakan lafadz tertentu. Dalam Islam thalaq merupakan perbuatan yang halal
tapi sangat dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah bersabda dalam satu hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar r.a.:
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الطَّلاَ قُ
Artinya : “Di antara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah adalah
Thalaq”.(HR. Abu Daud dan Al Hakim)
Berdasar hadits di atas hukum thalaq adalah
makruh. Akan tetapi hukum tersebut bisa berubah dalam kondisi-kondisi tertentu.
Berikut penjelasan ringkasnya :
a.
Hukum thalaq menjadi wajib, bila suami
istri sering bertengkar dan tidak dapat didamaikan.
b.
Hukum thalaq menjadi sunnah, jika suami
tidak sanggup memberi nafkah.
c.
Hukum thalaq menjadi haram, jika thalaq akan
mendatangkan madharat yang lebih besar bagi kedua belah pihak (suami istri).
· Syarat dan Rukun thalaq
Rukun thalaq ada tiga yaitu suami, istri, dan ucapan
thalaq. Adapun syarat-syarat dari setiap ketiganya sebagaimana berikut :
ü
Suami yang menjatuhkan thalaq
1) Ada ikatan pernikahan yang sah dengan istri
2)
Baligh
3)
Berakal
4)
Tidak dipaksa
ü
Istri ( dithalaq)
1)
mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan
suami.
2)
Masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang
dijatuhkan sebelumnya.
ü
Ucapan thalaq
· Macam-macam thalaq
a.
Ditinjau dari proses menjatuhkannya.
1)
Thalaq dengan ucapan
Thalaq dengan ucapan terbagi
menjadi dua :
a)
Sarih(tegas). Yaitu
mengungkapkan lafadz thalaq yang tidak mungkin dipahami makna lain kecuali
thalaq. Semisal ungkapan seorang suami keapada istri yang ia thalaq,“Engkau
sudah berpisah denganku”
b)
Sindiran. Yaitu mengungkapkan
satu lafadz yang memiliki kemungkinan makna thalaq atau yang lainnya. Semisal
ungkapan seorang suami kepada istri yang ia thalaq,”Pulanglah engkau ke rumah
orang tuamu.” Thalaq dengan sindiran harus disertai niat menthalaq.
2)
Thalaq dengan tulisan
3)
Thalaq dengan isyarat. Jenis thalaq ini
hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.
b.
Ditinjau dari segi jumlahnya
1)
Thalaq satu, yaitu thalaq satu yang pertama
kali dijatuhkan suami kepada istriya.
2)
Thalaq dua yaitu thalaq yang dijatuhkan
suami kepada istrinya untuk yang kedua kalinya, atau thalaq yang baru pertama
kali dijatuhkan suami kepada istrinya akan tetapi dua kali sekaligus.
3)
Thalaq tiga ialah thalaq yang dijatuhkan suami
kepada istrinya untuk yang ketiga kalinya, atau pertama kali akan tetapi dengan
tiga thalaq sekaligus.
Pada thalaq satu dan dua, suami boleh rujuk
kepada isteri sebelum masa iddah berakhir atau dengan akad baru bila masa iddah
telah habis. Akan tetapi pada thalaq tiga, suami tidak boleh rujuk dengan
istrinya kecuali jika ia telah menikah dengan laki-laki lain, pernah melakukan
hubungan biologis dengannya, kemudian ia
dicerai dalam kondisi normal. Bukan karena adanya konspirasi antara suami baru
yang mencerainya dengan suami sebelumnya yang menjatuhkan thalaq tiga padanya
–sebagaimana hal ini terjadi pada nikah tahlil yang diharamkan syariat-.
c.
Ditinjau dari segi keadaan istri
1)
Thalaq sunah, yaitu thalaq yang dijatuhkan
kepada istri yang pernah dicampuri ketika istri :
a)
Dalam keadaan suci dan saat itu ia belum
dicampuri
b)
Ketika hamil dan jelas kehamilannya
2)
Thalaq bid’ah yaitu thalaq yang dijatuhkan
kepada istri ketika istri :
a)
Dalam keadaan haidh
b)
Dalam keadaan suci yang pada waktu itu ia
sudah dicampuri suami
Thalaq bid’ah hukumnya haram
3)
Thalaq bukan sunah dan
bukan bid’ah yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah
dicampuri dan belum haidh (karena masih kecil)
d.
Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya
rujuk
1)
Thalaq raj’i yaitu thalaq yang dijatuhkan
suami kepada istri dimana istri boleh dirujuk kembali sebelum masa iddah
berakhir.
Allah Swt berfirman :
Artinya : “Thalaq yang dapat dirujuk adalah dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara baik-baik, dan mencerainya dengan cara yang baik-baik
pula”.(QS. Al Baqarah : 229)
2)
Thalaq bain, yaitu thalaq yang menghalangi
suami untuk rujuk kembali kepada istrinya. Thalaq bain ini terbagi menjadi dua :
a)
Thalaq bain kubra, yaitu thalaq tiga. Sebagaimana Allah sampaikan
dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan
jika suami menceraikannya sesudah thalaq yang kedua, maka perempuan itu boleh
dinikahinya lagi hingga ia kawin dengan laki-laki. Jika suami yang lain
menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami) pertama dan
istri untuk kawin kembali jika keduanya berkeyakinan akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah .....(QS. Al Baqarah : 230)
b)
Thalaq bain sughra
Thalaq yang menyebabkan istri tidak boleh
dirujuk, akan tetapi ia boleh dinikahi kembali dengan akad dan mas kawin baru,
dan tidak harus dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain. Seperti thalaq
dua yang telah habis masa iddahnya.
ü Khuluk
a.
Pengertian Khuluk
Khuluk adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan
mengembalikan mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq tebus.
Terkait dengan khuluk, Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
229 :
Artinya : “Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak dosa bagi
keduanya mendakan bayaran yang diberikan oleh pihak istri untuk menebus
dirinya.”(QS. Al Baqarah : 229)
b.
Rukun Khuluk :
a) Suami yang
baligh, berakal dan dengan kemauannya
b) Istri yang
dalam kekuasaan suami. Maksudnya istri tersebut belum dithalaq suami yang
menyebabkannya tidak boleh dirujuk.
c) Ucapan yang
menunjukkan khuluk
d) Bayaran yaitu
suatu yang boleh dijadikan mahar
e) Orang yang
membayar belum menggunakan hartanya,baik istri maupun orang lain.
c.
Besarnya tebusan khuluk :
Tebusan khulu’ bisa berupa
pengembalian mahar –sebagian atau seluruhnya- dan bisa juga harta tertentu yang
sudah disepakati suami istri. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas r.a. dijelaskan bahwa istri Tsabit bin Qais mengadu kepada Rasulullah Saw
ihwal keinginannya berpisah dari suaminya. Maka Rasulullah bertanya kepadanya
apakah dia rela mengembalikan kebun yang dulu dijadikan mahar untuknya kepada
Tsabit? Dan kala istri Tsabit menyatakan setuju, maka Rasul pun bersabda kepada
Tsabit :
إِقْبَلْ
الْحَدِيْقَةَ وَ طَلَّقْهَا تَطْلِيْقَةً
Artinya : “ Terimalah
kebunnya, dan thalaqlah ia satu kali thalaq.”
Adapun terkait besar kecilnya tebusan khulu’, para ulama berselisih
pendapat :
ü Pendapat jumhur
ulama:
Tidak ada batasan jumlah dalam tebusan khulu’. Dalil yang mereka jadikan
sandaran terkait masalah ini adalah firman Allah dalam surat al-Baqarrah ayat
229 –sebagaimana tersebut di atas-.
ü Pendapat
sebagian ulama: Tebusan khulu’ tidak boleh melebihi mas kawin yang pernah
diberikan suami.
d.
Dampak syar’i yang ditimbulkan khulu’
Ketika terjadi khulu’,
maka suami tidak bisa merujuk istrinya, walaupun khulu’ tersebut baru masuk
kategori thalaq satu ataupun dua dan istri masih dalam masa iddahnya. Seorang
suami yang ingin kembali kepada istrinya setelah terjadinya khulu’ harus
mengadakan akad nikah baru dengannya.
ü Fasakh
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Adapun dalam
pembahasan fiqh fasakh adalah pemisahan pernikahan yang dilakukan hakim
dikarenakan alasan tertentu yang diajukan salah satu pihak dari suami istri
yang bersangkutan.
a.
Sebab –sebab fasakh
1.
Tidak terpenuhiknya syarat-syarat akad nikah, semisal seseorang
yang menikahi wanita yang ternyata adalah saudara perempuannya.
2. Munculnya masalah yang dapat merusak pernikahan dan menghalangi tercapainya
tujuan pernikahan, sebagaimana beberapa hal berikut :
ü Murtadnya salah satu dari pasangan suami istri
ü Hilangnya suami dalam tempo waktu yang cukup lama
ü Miskinnya seorang suami hingga tidak mampu memberi nafkah keluarga
ü Dipenjarakannya suami, dan beberapa hal lainnya.
ü Iddah
Iddah ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak menikah bagi
perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.
a.
Macam-macam iddah :
1.
Iddah Istri yang dicerai dan ia masih haidh, lamanya tiga kali
suci.
2.
Iddah Istri yang dicerai dan ia sudah tidak haidh, lamanya tiga
bulan
3.
Iddah Istri yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh
hari bila ia tidak hamil.
4.
Iddah Istri yang dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai
melahirkan
5.
Iddah Istri yang ditinggal wafat suaminya dalam keadaan hamil masa
iddahnya menurut sebagian ulama adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan.
b.
Kewajiban Suami isteri selama masa iddah
1.
Kewajiban Suami
Suami yang mencerai isterinya berkewajiban memberi belanja dan
tempat tinggal selama iddahnya belum berakhir. Berikut penjelasan singkatnya:
ü
Perempuan yang dicerai dengan tahlaq raj’i berhak mendapatkan
belanja dan tempat tinggal
Nabi bersabda :
إِنَّمَا
السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ
Artinya : “Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah bagi
orang yang bisa merujuk istrinya atau bagi istri yang bisa diruju’ (HR. Ahmad
dan Nasai).
ü
Perempuan yang dithalaq bain dan ia dalam keadaan hamil berhak
memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Allah berfirman :
Artinya : “Jika istri-istri yang telah dicerai sedang hamil berilah mereka
uang belanja sampai mereka melahirkan” (QS. Ath Thalaq : 6).
ü
Perempuan yang di thalaq bain dan tidak hamil berhak memperoleh
tempat tinggal saja dan tidak berhak memperoleh belanja. Allah berfiman:
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahka mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka”. (QS. Ath Thalaq
: 6).
ü
Perempuan yang ditinggal wafat suami baik hamil atau tidak ia tidak
berhak memperoleh uang belanja atau tempat tinggal karena ia mendapat warisan
dari harta peninggalan suaminya.
2.
Kewajiban istri selama masa iddah
Wanita yang dicerai suaminya wajib menetap dirumah suaminya selama
iddahnya belum berakhir. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Jangan
kamu keluarkan mereka istri-istri yang telah dicerai dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang.” (QS. Ath-Thalaq : 1)
c. Tujuan Iddah :
1.
Menghilangkan keraguan tentang kosongnya rahim bekas istri.
Allah berfirman :
Artinya :..... “Mereka tidak boleh menyembunyikan anak yang dijadikan Allah
SWT dalam rahim bila mereka beriman kepada
Allah dan hari akhir .....” (QS. Al Baqarah : 228)
2.
Untuk memudahkan proses rujuk antara suami dan bekas istrinya.
Artinya : “dan para suami
yang lebih berhak merujuk bekas istri mereka itu dalam masa jika mereka para
suami menghendaki damai” (QS. AL Baqarah : 228)
3.
Untuk menjaga perasaan keluarga mantan suami
yang sedang berkabung (ini terkait dengan iddahnya wanita kala ditinggal mati
suaminya).
12.
HADANAH
Hadanah adalah memelihara anak dan mendidiknya
dengan baik.
a.
Syarat-syarat hadanah :
1.
Berakal.
2.
Beragama.
3.
Medeka.
4.
Baligh.
5.
Mampu mendidik.
6.
Amanah.
b.
Tahap-tahap hadanah
Jika suami istri bercerai maka kepengurusan anak mengikuti aturan
sebagaimana berikut :
1.
Jika anak masih kecil dalam pangkuan ibunya, maka ibu lebih berhak
memeliharanya.
2.
Anak yang sudah dapat bekerja, pemeliharaannya dipasrahkan kepada
anak tersebut, apakah ia akan memilih ibunya atau bapaknya. Ia bebasa dengan
pilihannya.
13.
RUJUK
Rujuk adalah kembalinya suami kepada istrinya yang telah dicerai,
kala istrinya masih dalam masa iddah.
Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Apabila kamu
menceraikan istri-istrimu lalu mereka menghendaki akhir iddahnya maka rujuklah
mereka dengan cara yang baik pula.” (QS. Al Baqarah : 231)
a.
Hukum rujuk
Hukum
asal rujuk adalah boleh (jaiz), kemudian berkembang sesudai dengan keadaan yang
menggiringi proses rujuk tersebut. Berikut rangkuman hukum rujuk :
1.
Haram, apabila rujuk mengakibatkan kerugian atau kemadharatan di
pihak istri.
2.
Makruh, apabila bercerai lebih bermanfaat daripada rujuk.
3.
Sunnah, apabila rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan
perceraian
4.
Wajib, hukum ini dikhususkan bagi laki-laki yang beristri lebih
dari satu jika salah seorang dithalaq sebelum gilirannya disempurnakan.
b.
Syarat dan rukun rujuk :
1.
Untuk istri, apabila:
a.
sudah pernah dicampuri
b. thalaq yang
dijatuhkan adalah talaq raj’i
c.
dalam massa iddah
2.
Untuk suami apabila:
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Berakal
d.
Tidak dipaksa
c.
Sighat / ucapan rujuk dari suami
Sighat
rujuk yang diucapkan suami kepada istrinya bisa bernada tegas, dan juga bisa
bernada sindiran. Untuk sighat rujuk dengan nada sindiran dibutuhkan niat,
hingga benar-benar bisa dideteksi bahwa sang suami telah benar-benar meminta
kembali istrinya.
d.
Saksi dalam masalah rujuk
Saksi
dalam rujuk sama dengan syarat saksi dalam thalaq, yaitu dua orang laki-laki
yang adil.
e.
Hikmah rujuk
1.
Rujuk akan mewujudkan ajaran kedamaian dalam islam.
2.
Rujuk akan menghindari pecahnya hubungan
kekerabatan.
3.
Rujuk akan menyelamatkan pendidikan anak-anak.
4.
Rujuk akan menghindarkan diri dari gangguan jiwa.
5.
Rujuk akan menghindarkan diri dari praktik dosa.
6.
Rujuk akan kembali menjadi ladang amal suami untuk menunaikan
kewajiban yang sempat ia tinggalkan sementara waktu akibat perceraian.
Sumber : Buku Fiqih XI Kurikulum 2013
No comments:
Post a Comment