I. PERADILAN
a. Pengertian
peradilan
Peradilan dalam pembahasan fiqh
diistilahkan dengan qodho’ ( قَضَاءٌ) . Istilah tersebut diambil dari kata قَضَى – يَقْضِى yang memiliki arti memutuskan, menyempurnakan, menetapkan. Adapun secara
makna terminologi peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang
ditugaskan untuk menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil
berdasarkan hukum yang berlaku.
Tempat untuk
mengadili perkara disebut pengadilan. Dan orang yang bertugas mengadili perkara
disebut qadhi atau hakim. Dengan demikian hukum yang dijadikan dasar peradilan
Islam adalah hukum Islam.
b.
Fungsi peradilan
Sebagai lembaga
negara yang ditugasi untuk memutuskan setiap perkara dengan adil, maka
peradilan harus memainkan fungsinya dengan baik. Diantara fungsi terpenting
peradilan adalah:
1. Menciptakan
ketertiban dan ketentraman masyarakat.
2. Mewujudkan
keadilan yang menyeluruh bagi seluruh lapisan masyarakat.
3. Melindungi
jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.
4.
Mengaplikasikan nilai-nilai amar makruf
nahi munkar, dengan menyampaikan hak kepada siapapun yang berhak
menerimanya dan menghalangi orang-orang dzalim dari tindak aniaya yang akan
mereka lakukan.
c.
Hikmah peradilan
Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan
sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya lembaga peradilan akan
diperoleh hikmah yang sangat besar bagi
kehidupan umat, yaitu :
1. Terwujudnya
masyarakat yang bersih, karena setiap orang terlindungi haknya dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw
yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah dimana beliau Saw menjelaskan
bahwa satu masyarakat tidak dinilai bersih, jika hak orang-orang yang lemah
diambil orang-orang yang kuat.
2. Terciptanya
aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa, karena masyarakat telah
menjelma menjadi masyarakat bersih.
3. Terwujudnya
keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya setiap hak – hak orang dihargai dan
dilindungi. Allah SWT berfirman :
…وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ
Artinya : “ (Allah menyuruh kamu)
apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu (menetapkan)
hukum itu dengan adil (QS.An Nisa’: 58)
4. Terciptanya ketentraman, kedamaian,
dan keamanan dalam masyarakat.
5. Dapat mewujudkan suasana yang
mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT bagi semua pihak. Allah
Swt berfirman :
اِعْدِلُوْا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Artinya : “ Berlaku adillah kamu
sekalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.”(QS. Al – Maidah : 8)
II. HAKIM
a.
Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesaikan
persengketaan dan memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain
hakim adalah orang yang bertugas untuk mengadili. Ia mempunyai kedudukan yang
terhormat selama ia berlaku adil.
Terkait dengan kedudukan hakim, Rasulullah menjelaskan dalam salah
satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi:
إِذَا
جَلَسَ الْقَاضِي فِى مَكَانِهِ هَبَطَ عَلَيْهِ مَلَكَانِ يُسَدِّدَانِهِ وَ
يُوَفِّقَانِهِ وَ يُرْشِدَانِهِ مَا لَمْ يَجِرْ فَإِذَا جَارَ عَرَجَا
َتَرَكَاهُ (رواه البيهقي)
Artinya : “Apabila hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan
kedudukan hakim adil) maka dua malaikat membenarkan, menolong dan
menunjukkannya selama tidak menyeleweng. Apabila menyeleweng maka kedua
malaikat akan meninggalkannya. (H.R. Baihaqi)
b. Syarat – syarat Hakim
Karena mulianya tugas seorang hakim dan
beratnya tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundaknya demi terwujudnya
keadilan, maka seorang hakim harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Beragama Islam. Karena
permasalahan yang terkait dengan hukum Islam tidak bisa dipasrahkan kepada
hakim non muslim.
2. Aqil
baligh sehingga bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil
3. Sehat
jasmani dan rohani
4. Merdeka (bukan
hamba sahaya). Karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri
apalagi terhadap orang lain.
5. Berlaku
adil sesuai dengan prinsip – prinsip keadilan dan kebenaran
6. Laki
– laki (bukan perempuan).
Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt
:
الرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya : “ Kaum laki – laki adalah pemimpin kaum
perempuan” (QS. An – Nisa’ ; 34)
Dan hadits Rasulullah Saw:
لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةٌ (رواه البخاري)
Artinya :” Tidak akan bahagia
(mendapatkan kesudahan yang baik) suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada perempuan (HR. Bukhari)
7. Memahami
hukum dalam Al Qur’an dan Sunnah
8. Memahami
ijma’ ulama serta perbedaan perbedaan tradisi umat
9. Memahami
bahasa Arab dengan baik, karena berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk
memutuskan hukum mayoritas berbahasa Arab.
10. Mampu berijtihad dan
menguasai metode ijtihad, karena tak diperbolehkan baginya taqlid.
11.Seorang hakim harus dapat
mendengarkan dengan baik, karena seorang yang tuli tidak
bisa mendengarkan perkataan atau pengaduan dua belah pihak yang bersengketa.
12. Seorang hakim harus dapat melihat.
Karena orang yang buta tidak bisa mendeteksi siapa yang mendakwa dan siapa yang
terdakwa.
13. Seorang hakim harus mengenal baca
tulis.
14. Seorang hakim harus memiliki ingatan
yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas, karena orang yang bisu tidak
mungkin menerangkan keputusan, dan seandainyapun ia menggunakan isyarat, tidak
semua orang bisa memahami isyaratnya.
c. Macam – macam hakim dan konsekuensinya
Profesi hakim merupakan
profesi yang sangat mulia. Kemuliaannya karena tanggung jawabnya yang begitu
berat untuk senantiasa berlaku adil dalam memutuskan segala macam permasalahan.
Ia tidak boleh memiliki tendensi kepada salah satu pendakwa atau terdakwa. Jika
ia melakukan tindak kedzaliman kala menetapkan perkara maka ancaman hukuman
neraka telah menantinya.
Simpulannya, kompensasi
yang akan didapatkan oleh seorang hakim yang adil adalah syurga Allah ta’ala.
Sebaliknya, hakim yang dzalim akan mendapatkan kesudahan yang buruk dimana ia
akan distatuskan sebagai ahlunnâr (penghuni neraka). Hal ini sebagaimana
Rasulullah sampaikan dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berikut :
الْقُضَاةُ
ثَلَاثَةٌ : قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضِيَانِ فىِ النَّارِ, قَاضٍ عَرَفَ
الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ, وَ قَاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَحَكَمَ
بِخِلَافِهِ فَهُوَ فِى النَّارِ, وَ قَاضٍ قَضَى عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى
النَّارِ (رواه أبو داود وغيره)
Artinya : “Hakim ada tiga macam. Satu
disurga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum
berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebanaran
dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim
yang menetapkan hukum dengan kebodohannya, maka ia masuk neraka.”(HR. Abu Dawud
dan lainnya)
d. Tata cara menentukan hukuman
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk
menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa (tertuduh)
diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan tuduhannya dengan sebaik – baiknya
sehingga apabila tuduhan sudah selesai, terdakwa bisa menilai benar tidaknya
tuduhan tersebut.
Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, hakim tidak
boleh bertanya kepada pendakwa, sebab dikhwatirkan akan memberikan pengaruh
positif atau negatif kepada terdakwa.
Setelah pendakwa selesai menyampaikan tuduhannya, hakim harus
mengecek tuduhan – tuduhan tersebut dengan beberapa pertanyaan yang dianggap
penting. Selanjutnya, tuduhan tersebut harus dilengkapi dengan bukti – bukti
yang benar.
Jika terdakwa menolak dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka ia
harus bersumpah bahwa dakwaan tersebut salah. Rasulullah sampaikan hal ini dalam salah satu sabda beliau:
الْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa harus menunjukkan
bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar maka hakim harus
memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut.
Sebaliknya, jika terdakwa mampu mementahkan bukti-bukti pendakwa dan menegaskan
bahwa bukti-bukti itu salah, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa dan
membenarkannya.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga, bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan vonis hukuman dalam beberapa keadaan berikut :
1. Saat
marah
2. Saat
lapar
3. Saat
kondisi fisiknya tidak stabil karena banyak terjaga (begadang)
4. Saat
sedih
5. Saat
sangat gembira
6. Saat
sakit
7. Saat
sangat ngantuk
8. Saat
sedang menolak keburukan yang tertimpakan padanya
9. Saat
merasakan kondisi sangat panas atau sangat dingin
Kesembilan keadaan inilah yang
menyebabkan ijtihad hakim tidak maksimal. Karenanya, hakim dilarang memutuskan
perkara dalam keadaan-keadaan tersebut. Ia dituntut untuk senantiasa
menggulirkan berbagai keputusan seadil-adilnya dan seobyektif mungkin.
e. Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan
pengangkatan hakim wanita. Dasar mereka adalah sabda Rasulullah yang
diriwayatkan Abu Hurairah r.a. berikut :
لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya :” Tidak akan berbahagia
(mendapatkan kesudahan yang baik) suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan (HR. Bukhari)
Sedangkan Imam Hanafi membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk
menyelesaikan segala urusan kecuali urusan had dan qishash. Bahkan Ibnu Jarir
ath- Thabari membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala urusan seperti
halnya hakim pria.Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan fatwa
dalam segala macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk menjadi
hakim dan memutuskan perkara apapun.
III. SAKSI
a.
Pengertian Saksi
Saksi adalah orang yang diperlukan pengadilan untuk memberikan
keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara, demi tegaknya hukum dan
tercapainya keadilan dalam pengadilan.
Tidak dibolehkan bagi saksi memberikan keterangan palsu. Ia harus
jujur dalam memberikan kesaksiannya. Karena itu, seorang saksi harus
terpelihara dari pengaruh atau tekanan, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam sidang peradilan.
Pada dasarnya saksi dihadirkan agar proses penetapan hukum dapat
berjalan maksimal. Saksi diharapkan dapat memberikan kesaksian yang sebenarnya,
sehingga para hakim dapat mengadili terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang
ada, termasuk keterangan dari para saksi. Sampai titik ini kita bisa memahami
bahwa saksi juga merupakan salah satu alat bukti disamping bukti-bukti yang lain.
b. Syarat –
syarat Menjadi Saksi
1. Islam.
2. Sudah dewasa atau baligh sehingga
dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
3. Berakal sehat.
4. Merdeka (bukan seorang hamba sahaya).
5. Adil. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2 :
وَأَشْهِدُوْا
ذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ
Artinya : “ Dan persaksikanlah dengan
dua orang yang adil diantara kamu ( QS. At Thalaq : 2 )
Untuk dapat dikatakan sebagai orang yang adil, saksi harus
memiliki kriteria – kriteria sebagai berikut :
1. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
besar.
2. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
kecil
3. Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah
4. Dapat mengendalikan diri dan jujur
saat marah
5. Berakhlak mulia
Mengajukan kesaksian secara suka rela tanpa diminta oleh orang
yang terlibat dalam suatu perkara termasuk akhlak terpuji dalam Islam.
Kesaksian yang demikian ini merupakan kesaksian murni yang belum dipengaruhi
oleh persoalan lain. Rasulullah bersabda :
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ شُهَدَاءَ هُوَ الَّذِي يَأْتِي بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ
يَسْأَلَهَا (رواه مسلم)
Artinya : “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi?
ia adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya sebelum diminta (HR. Muslim)
c. Saksi yang ditolak
jika saksi tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, maka
kesaksiannya harus ditolak. Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya adalah :
1. Saksi yang tidak adil.
2. Saksi seorang musuh kepada musuhnya.
3. Saksi seorang ayah kepada anaknya.
4. Saksi seorang anak kepada ayahnya.
5. Saksi orang yang menumpang di rumah
terdakwa
IV. PENGGUGAT DAN BUKTI (BAYYINAH)
a. Pengertian penggugat
Materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat
perkara, dalam proses peradilan disebut gugatan. Sedangkan penggugat adalah
orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat
(orang yang digugat)
Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan
kebenaran gugatannya dengan menyertakan bukti – bukti yang akurat, saksi –
saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah. Ucapan sumpah dapat diucapkan
dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini tidak benar, maka Allah
akan melaknat saya”.
Ketiga hal tersebut
(penyertaan bukti-bukti yang akurat, saksi-saksi yang adil, dan sumpah)
merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.
b.Pengertian
bukti ( bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat
untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti – bukti tersebut dapat berupa
surat – surat resmi, dokumen, dan barang – barang lain yang dapat memperjelas
masalah terhadap terdakwa.
Terkait dengan hal ini Rasulullah Saw
bersabda :
عن جابر أن رجلين
اختصما في ناقة، فقال كل واحد منهما : نتجت هذه الناقة عندى واقام بيّنة فقضى بها
رسول الله ص.م. لمن هي في يده
Artinya : “ Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang
bersengketa tentang seekor unta betina masing – masing orang diantara keduanya
mengatakan : “ Peranakan unta ini milikku” dan ia mengajukan bukti. Maka
Rasulullah saw memutuskan bahwa unta ini miliknya.
c. Terdakwa yang tidak
hadir dalam persidangan.
Terdakwa yang tidak hadir dalam
persidangan harus terlebih dahulu dicari tahu sebab ketidak hadirannya. Menurut
imam Abu Hanifah mendakwa orang yang tidak ada atau tidak hadir dalam
persidangan diperbolehkan. Allah Swt berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ
بِالْحَقِّ
Artinya : “ Maka berilah keputusan
(perkara) diantara manusia dengan adil (QS. Shad : 26)
Nabi Muhammad saw pernah memberi keputusan atas pengaduan isteri
Abu Sufyan, sedang kala itu Abu sufyan tidak hadir dalam persidangan.
Rasulullah bersabda kepada istri Abu Sofyan:
خُذِى مَا يَكْفِيْكِ (رواه
البخاري ومسلم)
Artinya : “ Ambillah yang mencukupimu (HR. Bukhari Muslim)
V. TERGUGAT DAN SUMPAH
a.
Pengertian Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat.
Tergugat bisa membela diri dengan membantah kebenaran gugatan melalui 2 cara :
Ø Menunjukkan
bukti-bukti
Ø Bersumpah
Rasulullah saw bersabda :
الْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه البيهقي)
Artinya: “Pendakwa harus menunjukkan
bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah “(HR Baihaqi)
Dalam
peradilan ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami :
·
Materi gugatan disebut hak
·
Penggugat disebut mudda’i
·
Tergugat disebut mudda’a ‘alaih
·
Keputusan mengenai hak penggugat disebut
mahkum bih
·
Orang yang dikenai putusan untuk diambil
haknya disebut mahkum bih (istilah ini bisa jatuh pada tergugat sebagaimana
juga bisa jatuh pada penggugat)
b. Tujuan Sumpah
Tujuan
sumpah dalam perspektif Islam adal dua, yaitu :
1. Menyatakan tekad untuk melaksanakan
tugas dengan sungguh – sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut
2. Membuktikan dengan sungguh – sungguh
bahwa yang bersangkutan dipihak yang benar
Tujuan sumpah yang kedua inilah yang
dilakukan di pengadilan. Sumpah tergugat adalah sumpah yang dilakukan pihak
tergugat dalam rangka mempertahankan diri dari tuduhan penggugat. Selain
sumpah, tergugat juga harus menunjukkan bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan
yang meyakinkan hakim bahwa dirinya memang benar-benar tidak bersalah.
c.
Syarat – syarat orang yang bersumpah
Orang
yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat berikut :
1. Mukallaf
2. Didorong oleh kemauan sendiri tanpa
ada paksaan dari siapapun
3. Disengaja bukan karena terlanjur dan
lain – lain
d.
Lafadz – lafadz sumpah
Ada tiga lafadz yang bisa digunakan
untuk bersumpah, yaitu: تَاللهِ، بِاللهِ،
وَاللهِ)). Arti ketiga lafadz tersebut
adalah “demi Allah”. Rasulullah pernah bersumpah dengan menggunakan lafadz
wallahi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
وَاللهِ
لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Artinya : “ Demi Allah, sesungguhnya
aku akan memerangi kaum quraisy. Kalimat ini belia ulangi tiga kali. (HR. Abu
Daud)
e. Pelanggaran sumpah
konsekuensi yang harus dilakukan oleh
seseorang yang melanggar sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda
pelanggaran sumpah) dengan memilih salah satu dari ketiga ketentuan berikut :
1. Memberikan makanan pokok pada sepuluh orang
miskin, dimana masing-masing dari mereka mendapatkan ¾ liter
2. Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh
orang miskin
3. Memerdekakan
hamba sahaya.
Jika pelanggar sumpah
masih juga tidak mampu membayar kaffarah dengan melakukan salah satu dari 3 hal
di atas, maka ia diperintahkan untuk berpuasa tiga hari. Sebagaimana hal ini
Allah jelaskan dalam firman-Nya :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍصلىفَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya : “Maka kafarat ( melanggar) sumpah
itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian
maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari (QS. Al Maidah : 89)
Sumber : Buku Fiqih Kelas XI Kurikulum 2013
No comments:
Post a Comment